Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang sudah resmi ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 29 Oktober 2021 mengesahkan beberapa perubahan terkait perpajakan di Indonesia. Salah satunya yaitu kenaikan tarif PPN menjadi 11% yang awalnya adalah 10% dan mulai berlaku 1 April 2022, serta tarif PPN menjadi 12% yang berlaku paling lambat 1 Januari 2025.
Bhima Yudhistira Adhinegara, selaku Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengatakan bahwa dengan adanya kenaikan tarif PPN tersebut sangat beresiko karena pemerintah sedang berusaha memulihkan perekonomian akibat pandemi COVID-19. Peningkatan tarif PPN akan meningkatkan pula harga barang dan berdampak pada daya beli masyarakat kelas bawah sampai menengah akan turun.
Dengan adanya peningkatan tarif PPN, maka akan berdampak pada seluruh lapisan masyarakat. Terutama bagi masyarakat kelas bawah dan menengah karena PPN termasuk pajak objektif yang dasar pengenaan pajaknya secara adil, tidak melihat status maupun penghasilan subjek pajaknya. Jadi semua masyarakat harus membayar tarif PPN tersebut jika melakukan transaksi barang/jasa kena pajak.
Maka dari itu, Bhima mengatakan bahwa dengan adanya peningkatan tarif PPN masyarakat memiliki dua pilihan yaitu harus mengurangi belanja dan berhemat atau mencari alternatif lain barang yang lebih murah.
Selain berdampak pada masyarakat, kenaikan tarif PPN juga berdampak pada pengusaha. Para pengusaha sedang memulihkan perekonomiannya akibat pandemi COVID-19, namun dengan adanya kenaikan tarif PPN dapat memperlambat pemulihan tersebut.
“Pengusaha akan berfikir apakah harga barang harus diturunkan guna menyeimbangkan kenaikan PPN? Kemudian apakah stok barang di gudang sekarang bisa laku terjual dengan adanya kenaikan harga pada konsumen akhir?” Ucap Bhima.
Comments