Ia mengungkap, beberapa kasus pelanggaran kekarantinaan terjadi karena adanya blank area dari WNA maupun WNI saat keluar pesawat hingga menuju imigrasi.
“Blank area ini yang diduga kemudian membuat potensi terjadinya pelanggaran dan penyimpangan kekarantinaan. Terjadi transaksional sehingga WNA dan WNI yang harusnya karantina di tempat yang sudah disiapkan tapi tidak dilakukan,” ungkap Dedi.
Demi meminimalisir hal itu, kini Polri menerapkan Aplikasi Monitoring Karantina Presisi. Aplikasi ini menjadi alat pengawasan digital bagi para pelaku perjalanan luar negeri (PPLN). Kendati demikian, Polri tetap memerlukan kerja sama dari stakeholders lainnya, seperti Satgas COVID-19, TNI, masyarakat, dan lainnya.
“Aplikasi Monitoring Karantina Presisi berfungsi mengawasi WNA dan WNI yang masuk ke Indonesia, dari mulai tiba hingga ke lokasi karantina. Beberapa lokasi pintu masuk ke Indonesia, baik bandara, pelabuhan, dan pos lintas batas negara (PLBN) sudah menerapkan aplikasi itu. Aplikasi ini efektif. Namun, perlu di-cover pengawasan manual,” ujar Dedi.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan Polri dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menindak tegas pelanggar karantina. Pasalnya, kenaikan kasus Omicron hampir seluruhnya berasal dari imported case.
“Saya minta betul, utamanya yang berkaitan Omicron ini adalah karantina bagi yang datang dari luar negeri. Jangan ada lagi dispensasi-dispensasi apalagi yang bayar-bayar itu kejadian lagi,” tegas Jokowi dalam Konferensi Pers Ratas Evaluasi Mingguan PPKM, yang disiarkan virtual, (3/1).
Comments