Menu
in ,

Mal Sudah Dibuka, Kenapa Orang Masih Enggan Belanja?

Mal Sudah Dibuka, Kenapa Orang Kaya Masih Enggan Belanja?

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang diberlakukan pemerintah sudah mulai dilonggarkan. Pusat-pusat perbelanjaan (mal) pun sudah mulai dibuka dengan tetap memberlakukan protokol kesehatan yang ketat. Dengan pembukaan mal dan pusat perdagangan, diharapkan bisa memacu pertumbuhan ekonomi, namun ternyata orang kaya di Indonesia ternyata masih menahan diri untuk berbelanja.

Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia (SK BI) menyebutkan, porsi pendapatan yang dipakai untuk konsumsi di kelompok masyarakat dengan pengeluaran di atas Rp 5 juta per bulan adalah 67,1 persen pada Agustus 2021. Angka ini turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 68,1 persen. Padahal, kelompok di bawahnya justru lebih rajin berbelanja. Kelompok dengan pengeluaran Rp 3,1-4 juta per bulan meningkat 2,1 poin persentase. Perkembangan ini membuat porsi pendapatan yang dipakai untuk konsumsi (propensity to consume) naik pada Agustus 2021 dibandingkan bulan sebelumnya. Meski kenaikannya sangat terbatas dari 74,6 persen menjadi 75 persen.

“Peningkatan proporsi konsumsi pada Agustus 2021 tersebut diikuti dengan meningkatnya rata-rata rasio pembayaran cicilan/utang (debt to ratio) pada Agustus 2021 dari 10,3 persen menjadi 10,4 persen. Sedangkan, rata-rata proporsi tabungan terhadap pendapatan konsumen (saving to income) menurun dari 15,1 persen menjadi 14,6 persen,” tulis laporan survei konsumen BI terbaru dikutip Jumat (10/9/21).

Sebelumnya, menurut Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja, penurunan level PPKM DKI Jakarta ke tingkat 3 tidak serta merta meningkatkan jumlah pengunjung ke pusat perbelanjaan atau mal. Memasuki awal September lalu, tingkat kunjungan di mal ibu kota masih lambat meskipun ada pelonggaran PPKM.

Alphonzus mengakui, tidak mudah untuk meningkatkan kunjungan pelanggan ke mal dalam waktu singkat. Masyarakat perlu waktu penyesuaian untuk kembali melakukan aktivitas ekonomi, termasuk kegiatan berbelanja di pusat perbelanjaan.

“Berdasarkan pengalaman selama masa pandemi ini, hanya untuk menaikkan tingkat kunjungan yang hanya 10-20 persen saja diperlukan waktu tidak kurang dari tiga bulan,” kata Alphonzus.

Di Jawa Timur pun kondisi masih serupa. Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Jatim, Sutandi Purnomosidi mengatakan, kebijakan wajib vaksin bagi pengunjung mal menyebabkan recovery ekonomi di pusat belanja berjalan lambat. Selain itu, larangan kepada anak-anak berkunjung ke mal juga membuat okupansi masih di bawah 50 persen. Sutandi berharap, pemerintah segera membolehkan anak-anak masuk ke mal. Pasalnya, mal merupakan hiburan alternatif keluarga. Terlebih lagi, di Jawa Timur khususnya Surabaya yang sudah masuk level 2.

Sepinya tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan ritel tentu menjadi tantangan bagi upaya pemulihan ekonomi. Padahal, konsumsi rumah tangga adalah penyumbang terbesar dalam perekonomian nasional. Sektor ini memberikan kontribusi lebih dari 50 persen dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Kementerian Keuangan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kuartal III-2021 di kisaran 4-5,7 persen. Namun, dengan konsumsi rumah tangga yang masih lesu seperti ini, maka prospek pertumbuhan ekonomi itu semakin sulit diwujudkan. Sebab, pertumbuhan melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai lebih dari 7 persen.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version