in ,

Pembebasan Bea Masuk, Rugikan Industri Baja Nasional

Pembebasan Bea Masuk, Rugikan Industri Baja Nasional
FOTO: Dok. Krakatau Posco

Pajak.comJakarta – Meski dalam tekanan pandemi Covid-19, industri baja nasional tetap memberikan kinerja produktivitasnya dengan menembus pasar ekspor di tahun 2020. Namun, pelaku usaha baja nasional justru sulit bersaing di negara sendiri lantaran maraknya impor baja yang masuk ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam.

Director Technology and Businnes Development Krakatau Posco Gersang Tarigan mengungkapkan, adanya pembebasan bea masuk antidumping (BMA), bea masuk imbalan (BMI), dan bea masuk pengamanan perdagangan (BMTP) dinilai menjadi akar masalah masuknya impor baja di kawasan KPBPB Batam serta terbukti menggerus neraca perdagangan.

Pihaknya pun mendesak pemerintah agar mengintervensi dan memerhatikan nasib keberlanjutan industri baja nasional, salah satunya dengan mengenakan BMA terhadap impor pelat baja di KPBPB Batam. Namun, hal itu urung dilakukan pemerintah karena terbentur Peraturan Pemerintah No. 10/2012 terkait perlakuan kepabeanan, perpajakan dan cukai di KPBPB.

Baca Juga  Tunjukkan Kompetensimu, Berikut “Tips” Tingkatkan Rasa Percaya Diri di Kantor

“Kami sudah meminta kepada pemerintah untuk pengenaan bea masuk antidumping terhadap impor pelat baja. Tapi hal ini tidak dapat dilakukan sebelumnya karena terbentur aturan itu,” kata Gersang dalam diskusi virtual Dampak Pengesahan PP Nomor 41/2021 Terhadap Industri Baja Nasional, Jumat (26/2/2021).

Gersang bilang, konsumsi pelat baja untuk galangan kapal di Kawasan Bebas Batam, relatif besar jika dibandingkan galangan kapal di luar Batam. Jumlahnya mencapai 400 ribu ton per tahun, tetapi 304 ribu ton atau 76 persen berasal dari impor. Sebanyak 68 persennya dipasok dari Ukraina, Singapura, dan Tiongkok.

“Tiga negara ini melakukan dumping atau menjual di bawah harga normal di pasar domestik negara pengekspor. Ini jelas merugikan industri baja nasional, karena harganya tidak wajar sehingga industri baja nasional akan sulit bersaing,” imbuhnya.

Apalagi, lanjutnya, Batam merupakan pasar terbesar untuk pelat baja. Kalau baja nasional tidak bisa masuk, tentu industri nasional mengalami kesulitan yang amat berat. Gersang pun meminta pemerintah melakukan pengawasan yang ketat di KPBPB dan KEK, agar produk impor baja di kawasan tersebut tidak keluar atau merembes ke tempat lainnya.

Baca Juga  Lippo Karawaci Libatkan Mitra Strategis dalam Menerapkan ESG

Salah satunya dengan mengoptimalkan penyelidikan tindakan pengamanan perdagangan (safeguards) atas lonjakan jumlah impor.

“Jangan begitu masuk bebas bea masuk, tapi ternyata bocor dan masuk ke kawasan non KPBPB. Harus ada kontrol yang ketat,” katanya.

Sementara itu, Direktur National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menyatakan konsep sentralisasi kawasan seperti KEK dan KPBPB sudah tidak relevan lagi ketika industri baja yang ada di wilayah itu justru harus bersaing dengan industri sejenis di dalam negeri.

Pemerintah juga harus melakukan langkah tegas dalam menyikapi PP KEK dan KPBPB ini, apalagi hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) menyatakan bahwa pelaku usaha dari luar negeri terbukti mengakibatkan kerugian pada industri baja dalam negeri.

Baca Juga  Amartha dan CELIOS Luncurkan Fintech Media Toolkit

Senada dengan Siswanto, Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana mengatakan, PP KEK dan KPBPB tidak membawa semangat melindungi pelaku usaha dalam negeri.

“Dengan tidak diberlakukannya pengenaan bea masuk tambahan di KEK dan KPBPB dinilai berpotensi mengundang masalah, karena peraturan yang dibuat harusnya dapat menjadi langkah perlindungan atas tindakan pelaku usaha dari luar negeri yang berbuat curang,” terang Hikmahanto.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *