in ,

Polemik Shadow Economy Picu Pengenaan Pajak Transaksi E-Commerce

Perkembangan teknologi informasi merubah cara hidup manusia, termasuk cara berbisnis. Di era ini, bisnis e-commerce melonjak sangat pesat dan internet yang semakin masif dapat mempermudah proses penjualan dan pemasaran barang dan jasa tanpa terikat ruang, jarak, dan waktu. Setiap transaksi pada bisnis e-commerce secara otomatis mendapatkan fasilitas dari platform online. Di Indonesia platform e-commerce ada banyak macamnya. Setiap platform e-commerce dikembangkan berdasarkan berbagai jenis model bisnis.

Meningkatnya pendapatan/penghasilan dari perdagangan elektronik ini nyatanya menimbulkan beberapa masalah dalam bidang keuangan, salah satunya adalah pajak transaksi e-commerce. Dilihat dari banyaknya jenis e-commerce di Indonesia, pemerintah perlu memandang lebih mengenai masalah perpajakan dalam transaksi E-commerce di Indonesia, dikarenakan banyaknya keuntungan yang diperoleh dari hasil transaksi dalam E-Commerce. Lantas apakah pengenaan pajak atas transaksi di platform e-commerce telah berjalan efektif?

Dasar pengenaan pajak e-commerce

Berdasar Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor: SE-62/PJ/2013, Tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi E-Commerce. Pajak yang dikenakan terhadap transaksi E-Commerce adalah Pajak Penghasilan, dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas transaksi E-Commerce. (Kementerian Sekretariat Negara, 2013).  Dalam Surat Edaran ini, ditegaskan bahwa transaksi perdagangan barang dan jasa melalui sistem elektronik, sama dengan transaksi perdagangan barang dan jasa lainnya, tidak terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara transaksi e-commerce dan transaksi perdagangan barang dan jasa lainnya.

Kemudian pemerintah menerbitkan aturan mengenai tata cara dan prosedur perpajakan e-commerce yang tercantum dalam Peraturan Kementerian Keuangan Nomor: 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce). Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tersebut memasukkan pelaku bisnis yang menggunakan kanal online sebagai tempat pemasaran seperti pelaku bisnis lainnya. Pelaku bisnis ini kemudian akan digolongkan sesuai pendapatan serta jenis barang yang dijual. Artinya, pajak yang berlaku adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Untuk itu, pengenaan dan penghitungan peraturan pajak disesuaikan dengan keadaan sebenarnya dari pelaku bisnis tersebut. Besaran pajaknya tidak jauh berbeda dengan pajak yang berlaku untuk pelaku industri pada umumnya. Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepastian dan keadilan bagi pelaku usaha.

Selain untuk meningkatkan kepastian dan keadilan bagi pelaku usaha, pemerintah membidik adanya potensi penerimaan pajak dari perdagangan melalui sistem elektronik atau e-commerce yang prospek ke depan memiliki nilai transaksi besar. Dilihat dari pesatnya perkembangan e-commerce dapat memberikan dampak positif pada perekonomian negara karena fleksibilitasnya dan kemampuannya untuk menciptakan akses pasar.

Tantangan nyata pajak e-commerce

Secara teknis transaksi e-commerce memang tidak terlihat sederhana, banyak risiko dan tantangan kedepan. Bahkan terbitnya Peraturan Kementerian Keuangan Nomor: 210/PMK.010/2018 tidak berjalan dengan semestinya. Kurangnya durasi waktu sosialisasi, waktu mendengar masukan dan pendapat para pelaku bisnis mengakibatkan simpang siur informasi ke masyarakat e-commerce berakhir dengan kegaduhan. Timbulnya kondisi yang kurang baik pemerintah pada akhirnya menerbitkan PMK No.31/PMK.010/2019. Dengan begitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (e-commerce), pemerintah memutuskan untuk menarik aturan perlakukan perpajakan bagi e-commerce. Akan tetapi besaran pajak yang dikenakan pelaku usaha atas transaksi e-commerce sama dengan pelalu usaha lainnya yaitu 4,8 Miliar Rupiah sebagai batas untuk pendapatan maksimal pelaku industri dengan tarif Pajak Penghasilan Final (PPh Final) sebesar hanya 0,5%.

Untuk itulah, tantangan nyata dalam pengenaan pajak transaksi e-commerce adalah bagaimana membuat aturan khusus yang bisa mengolah potensi pajak atas transaksi e-commerce dengan kondisi tersebut. Tanpa adanya regulasi perpajakan yang tepat atas transaksi e-commerce, potensi penerimaan pajak atas transaksi e-commerce akan hilang dan jika terus dibiarkan maka akan terjadi tumpang tindih perlakuan pajak antara bisnis konvensial dan bisnis elektronik. Semakin cepat diperkenalkan oleh pemerintah maka akan menjadi tamparan bagi pelaku usaha yang melakukan bisnis elektronik tetapi selama ini bisa bebas dari pajak.

Pada prinsipnya Pemerintah mengeluarkan kebijakan peraturan terkait perlakuan perpajakan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) bukan semata hanya kejar target penerimaan pajak, namun difokuskan untuk menjangkau lebih banyak informasi untuk membangun ekosistem dan database e-commerce yang komprehensif, untuk selanjutnya akan dianalisis untuk melihat perkembangan e-commerce di Indonesia sebagai dasar penentuan kebijakan pengembangan bisnis e-commerce di masa yang akan datang. Disamping itu penerapan regulasi dibidang pajak e-commerce dilakukan secara adil untuk pengenaan tarif pajak terhadap setiap transaksi elektronik (e-commerce). Sebab, selama ini kegiatan usaha e-commerce ini sudah termasuk kategori shadow economy atau bisnis yang tidak terjangkau pungutan pajak.

Dalam hal ini semestinya harus balance, sehingga tidak ada gap antara pelaku usaha konvensional dengan pelaku usaha elektronik. Untuk itu, filosofi penerapan aturan pajak e-commerce ini yakni agar pelaku usaha baik konvensional maupun elektronik mampu memahami kewajiban perpajakannya, terutama yang berhubungan dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Oleh karena itu, disarankan pemerintah bisa membuat kebijakan khusus mengenai pajak transaksi e-commerce dan berhati-hati dalam menerapkan pajak bisnis digital (E-Commerce) yang mengandung risiko, seperti tidak berkembangnya perusahaan rintisan (startup) dan administrasi pajak E-Commerce yang diterapkan. Untuk itu perlu mempersiapkan infrastruktur pelaporan data e-commerce agar pelaku usaha e-commerce sadar terhadap kewajiban dan hak perpajakannya dengan harapan pengawasan dan penanganan dalam rangka intensifikasi transaksi perdagangan melalui sistem elektronik terhadap pelaku usaha e-commerce dapat dimaksimalkan dalam mengadaptasi perubahan dan inovasi teknologi di Era Revolusi Industri 4.0 kaitannya dalam memenuhi target penerimaan perpajakan.

Referensi

Yoganingsih, Tutiek & Husadha, Cahyadi. (2021). Eksistensi Pajak E-Commerce. Jurnal Buana Akuntansi: Vol 6 No 1

Taufiq Budiarto, Muhammad. (2020). Mengulik Kewajiban Penyedia Platform Marketplace dan Pedagang sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam Bisnis Dagang Transaksi Elektronik (e-commerce). Proseding Seminar Nasional Akuntansi: Vol 2, No 1

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 151/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

KlikPajak, 2019, “Pajak Online Shop 2019, Ini Regulasi dan Penjelasannya!” https://klikpajak.id/blog/pajak-bisnis/pajak-online-shop-2019/  diakses tanggal 9 Agustus 2021.

Budi, Chandra. Menyasar pajak transaksi e-commerce. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel-dan-opini/menyasar-pajak-transaksi-e-commerce/ diakses pada 9 Agustus 2021.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *