in ,

Menilik Peluang Dibalik Penerapan Skema Integrasi NIK-NPWP

Menilik Peluang Dibalik Penerapan Skema Integrasi NIK-NPWP
FOTO: IST

Drama seputar penyatuan data kependudukan dan data Wajib Pajak telah memasuki babak baru. Melalui Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2021, skema pembentukan sistem informasi terintegrasi antara Nomor Induk Keluarga (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) resmi dicanangkan. Terobosan ini sangat penting dalam upaya mendorong simplifikasi administrasi pajak.

Sebetulnya, skema serupa pernah diusung melalui konsep Single Identity Number (SIN) pada tahun 2001 silam. Bahkan, konsep tersebut telah diratifikasi oleh DPR dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2001 tentang APBN 2002. Namun, konsep tersebut hanya menjadi wacana dan tenggelam begitu saja seiring dengan berjalannya waktu.

Kali ini, pemerintah kembali serius menggarap skema SIN meskipun dikemas dalam output yang sedikit berbeda, yakni integrasi NIK-NPWP. Melalui konsep baru ini, NIK akan berfungsi sebagai identitas Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana ditegaskan pada Pasal 2 ayat (10) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Indonesia dapat terbilang cukup tertinggal dari negara lain dalam hal integrasi data kependudukan. Mayoritas negara maju telah lebih dulu menerapkan konsep ini, sebut saja Amerika Serikat dengan Social Security Number-nya. Bahkan, Malaysia juga telah merilis kartu unik yang serbaguna, yaitu MyKad. MyKad mampu mengkombinasikan berbagai fungsi seperti layanan pemerintahan, lisensi berkendara, dan alat pembayaran e-commerce dalam satu platform (Fadil, 2011).

Tidak dapat dipungkiri jika ketertinggalan tersebut juga berdampak terhadap rendahnya minat investasi asing di Indonesia. Bagaimana tidak, Indonesia dikenal sebagai negara yang mengadopsi banyak platform dengan birokrasi yang masih berbelit. Maraknya praktik administrasi yang tidak sehat juga semakin menunjukkan betapa buruknya kualitas pelayanan publik saat ini (Maslihatin, 2016).

Baca Juga  Mekanisme Pengajuan Keberatan Kepabeanan

Berdasarkan data EoDB (Ease of Doing Business) 2021 yang dirilis World Bank, saat ini Indonesia menduduki peringkat 73 dari total 190 negara. Posisi Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand yang berada di jajaran 25 besar dunia. Miris, kualitas kemudahan berusaha Indonesia masih jauh di bawah rata-rata. Alhasil, kondisi ini juga turut berpengaruh terhadap buruknya tax ratio Indonesia dalam kurun satu dekade terakhir.

Oleh karena itu, konsep integrasi NIK-NPWP hadir untuk memacu efektivitas dan efisiensi administrasi publik. Seperti yang dikatakan Shikha (2017), administrasi publik dapat dikategorikan optimal jika mampu memenuhi unsur administrative ethics. Salah satunya dengan menerapkan kartu identitas tunggal. 

Strategi tersebut diharapkan mampu merealisasikan sistem administrasi yang lebih ringkas dan andal. Sentimen positif ini akan menciptakan iklim kemudahan berusaha yang lebih optimal. Bagaimana pun, NPWP dan NIK memiliki fungsi yang sangat vital dalam keberlangsungan usaha para pelaku ekonomi di Indonesia.

Lalu, bagaimana nasib masyarakat dengan adanya integrasi ini? Akankah seluruh masyarakat secara otomatis dipajaki dengan adanya regulasi ini?

“Semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak”. Layaknya peribahasa tersebut, anggapan bahwa pemberlakuan strategi ini akan menciptakan ruang ketidakadilan perlu ditinjau kembali. UU HPP telah mengatur secara spesifik mengenai mekanisme penerapan integrasi NIK-NPWP beserta keterkaitan regulasi tersebut dengan aspek perpajakan ke depannya. Bagaimana pun, asas kemanfaatan dan keadilan tetap menjadi landasan yang krusial dalam penetapannya.

Dengan memperhatikan asas non-distorsi, berbagai potensi terciptanya disparitas berusaha dihindari. Implementasi asas non-distorsi ini memungkinkan praktik administrasi publik berlangsung dengan efisien (Giebe, 2011).

Baca Juga  Kurs Pajak 17 – 23 April 2024

Konsep integrasi NIK-NPWP merupakan konsep dimana seluruh data kependudukan dilebur menjadi satu dengan data perpajakan. Konsep ini memungkinkan kewajiban pajak akan secara otomatis melekat terhadap setiap orang yang telah memenuhi syarat subjektif dan/atau syarat objektif. Sebaliknya, kewajiban perpajakan tidak akan aktif jika memang masyarakat tidak memenuhi dua kriteria tersebut.

Di sisi lain, masyarakat justru akan memperoleh berbagai kemudahan dengan adanya penerapan skema ini.

Pertama, biaya kepatuhan yang ditanggung masyarakat cenderung menurun drastis. Bagaimana tidak, masyarakat yang telah memenuhi syarat subjektif dan/atau objektif akan secara otomatis dapat memenuhi kewajiban perpajakannya tanpa perlu melakukan pendaftaran NPWP kembali. Hal ini tentu memudahkan masyarakat dengan kondisi sarana yang masih kurang memadai.

Kedua, berbagai permohonan administrasi yang dilakukan terkait perubahan data kependudukan, seperti alamat domisili dan status keluarga yang ditanggung wajib pajak dapat langsung tersinkronisasi dengan data perpajakan. Dengan demikian, tujuan penyederhanaan praktik administrasi publik dapat tercapai.

Ketiga, status subjek pajak akan secara otomatis ditiadakan apabila masyarakat tidak lagi memenuhi syarat subjektif dan/atau syarat objektif. Sinkronisasi data kependudukan dan perpajakan dapat dengan cepat merespon jika terjadi perubahan status pekerjaan, seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pensiun dari pekerjaan.

Upaya penerapan strategi integrasi NIK-NPWP dilakukan semata-mata untuk mengikis biaya kepatuhan yang saat ini masih cukup tinggi. Selain itu, penerapan strategi ini juga dimaksudkan untuk mempersempit ruang gerak para pelaku shadow economy yang menjadi penyebab terciptanya tax loss selama beberapa tahun terakhir.

Baca Juga  Strategi Penyelesaian Ragam Kasus Sengketa Kepabeanan di Pengadilan Pajak

Output yang diharapkan dengan adanya strategi integrasi NIK-NPWP adalah peningkatan persentase tingkat kepatuhan pajak di Indonesia. Dengan biaya kepatuhan yang rendah, tingkat kesadaran masyarakat mengenai kewajiban perpajakan dapat tumbuh secara signifikan.

Selain itu, upaya penyederhanaan sistem administrasi ini diharapkan mampu membangun iklim kemudahan berusaha yang lebih baik. Hal ini akan mampu mendorong geliat investasi yang lebih masif. Sebagai imbasnya, bukan hal yang mustahil sinergitas arah pertumbuhan PDB dan pertumbuhan tax ratio di Indonesia dapat terwujud.

Sumber:
Maslihatin, E. (2016). Dampak Kualitas Pelayanan Perizinan Terhadap Peningkatan Investasi Pada Upt Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Timur. Jurnal Kebijakan dan Manajemen Publik, 4.

Shikha, V. Y. A. S., & Aktan, C. C. (2017). Progression from ideal state to good governance: An introductory overview. International Journal of Business and Management Studies, 9(1), 29-49.

Fadil, F. B. (2011). User acceptance of MyKad as an e-commerce tool in Malaysia (Doctoral dissertation, Multimedia University (Malaysia).

Giebe, T., & Schweinzer, P. (2011). The efficient provision of public goods through non-distortionary tax contests (No. 352). SFB/TR 15 Discussion Paper.

Republik Indonesia. 2021. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. 2021. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2021 tentang Pencantuman dan Pemanfaatan Nomor Induk Kependudukan dan/atau Nomor Pokok Wajib Pajak dalam Pelayanan Publik.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

312 Points
Upvote Downvote

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *