Menu
in ,

Wacana Kenaikan Tarif PPN Dinilai Kontraproduktif

Wacana Kenaikan Tarif PPN Dinilai Kontraproduktif

FOTO : IST

Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berencana akan meningkatkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kenaikan tarif PPN ini bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak agar pada 2022 mendatang, penerimaan pajak bisa mencapai target. Dalam rencana postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, pemerintah mematok penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.499,3 triliun hingga Rp 1.528,7 triliun. Angka itu meningkat 8,37 persen hingga 8,42 persen year on year (yoy) dari proyeksi penerimaan perpajakan tahun ini senilai Rp 1.444,5 triliun.

Rencana kenaikan PPN ini berpijak pada Undang-Undang (UU) Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang mengisyaratkan tarif PPN dapat berada di kisaran 5-15 persen. Dengan demikian, meskipun saat ini pemerintah telah menetapkan tarif PPN 10 persen, pemberlakuan tarif 15 persen bisa diterapkan apabila ada peraturan pemerintah (PP) terkait atau revisi UU 42/2009. Selain itu, rencana itu untuk menurunkan defisit anggaran yang tahun ini diperkirakan sebesar 5,7 persen dan tahun depan diturunkan menjadi 4,51-4,86 persen. Menurut Sri Mulyani, salah satu caranya adalah dengan mulai menggenjot setoran pajak.

“Meningkatkan tax ratio dan meningkatkan basis pajak. Kita akan melaksanakan cukai plastik dan PPN. Struktur perekonomian akan memberikan kontribusi perpajakan dan tidak bergantung kepada satu sektor saja dengan diversifikasi seperti pertanian, manufaktur, perdagangan, dan lain-lain bisa kontribusi dalam penerimaan negara,” kata Sri Mulyani dalam rekaman Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2021 secara virtual dikutip Jumat (7/5/2021).

Rencana pemerintah menaikkan PPN pun menuai kontroversi. Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Mukhammad Misbakhun mengatakan, wacana itu kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah saat ini yang justru memberikan relaksasi perpajakan. Misalnya diskon PPN atas properti, diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor, hingga penurunan tarif PPh Badan.

Menurut Misbakhun, kebijakan ini tidak adil. Di satu sisi pemerintah menurunkan tarif PPh Badan, tapi di sisi lain meningkatkan tarif pajak atas konsumen (PPN). Meskipun rencana kenaikan tarif PPN baru diterapkan paling cepat pada tahun 2022, ia menilai kondisi ekonomi tahun depan masih dalam proses pemulihan. Ia khawatir daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih.

Untuk meningkatkan penerimaan PPN, menurut Misbakhun caranya bukan hanya terbatas pada peningkatan tarif. Pemerintah bisa menerapkan skema Goods and Services Tax (GST) yang merupakan PPN berbasis pada tujuan dan dibebankan pada produksi, penjualan, serta konsumsi barang dan jasa yang belum memiliki nilai tambah di setiap tahapan. Skema GST ini telah digunakan oleh berbagai negara misalnya Singapura.

“Nanti lewat GST maka perbedaannya lewat pengkreditan yang lebih selektif. Bisa juga membatasi restitusi PPN untuk korporasi yang menjalin kerja sama dengan proyek-proyek pemerintah,” kata Misbakhun.

Cara lain untuk mengejar penerimaan pajak yakni pemerintah harus berani menarik pajak penghasilan atas perusahaan berbasis digital di luar negeri. Meskipun tidak ada kehadiran fisik di Indonesia, perusahaan digital telah mendapatkan manfaat ekonomi dari dalam negeri.

Senada dengan Misbakhun, Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad meminta agar rencana kenaikan tarif PPN diurungkan. Sebab justru akan menjadi beban masyarakat karena barang/jasa yang akan dibeli akan bertambah mahal. Ia khawatir, hingga tahun depan situasi belum stabil sehingga kenaikan tarif PPN tidak akan memberikan implikasi positif terhadap penerimaan dan menggerakkan perekonomian, tapi justru akan memberi beban baru ke konsumen dan dunia usaha. Ia menilai jika tarif PPN sebesar 15 persen berlaku di tahun depan, maka penjualan barang/jasa akan menurun karena inflasi. Akibatnya, profitabilitas korporasi bisa loyo, bahkan tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan pemutusan hubungan kerja.

Tauhid menyarankan agar pemerintah mencari cara lain untuk optimalisasi penerimaan perpajakan. Misalnya dengan ekstensifikasi cukai bahan bakar minyak (BBM), minuman berpemanis, dan cukai plastik.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version