Menu
in ,

UU HKPD Tingkatkan Rasio Pajak Daerah Hingga 3 Persen

UU HKPD Tingkatkan Rasio Pajak Daerah

FOTO: KLI Kemenkeu 

Pajak.com, Bogor – Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Astera Primanto Bhakti berharap, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) mampu meningkatkan rasio pajak daerah sebesar 3 persen. Pasalnya, saat ini rasio pajak daerah tercatat masih berada di level 1,2 persen hingga 1,4 persen. Kemenkeu mendorong pemerintah daerah (pemda) dapat mengoptimalkan UU HKPD maupun regulasi perpajakan yang telah ada.

“Kalau ditanya idealnya berapa (rasio pajak daerah), hasil hitungan kami sebetulnya 3 persen itu sudah bagus. Jadi, harapannya bisa 3 persen. Caranya bagaimana? Kalau ingin menaikkan tarif PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) akan banyak masyarakat yang mendemo, tapi di UU HKPD, untuk meningkatkan rasio pajak daerah, pemerintah tidak akan menaikkan tarif pajak, tetapi meningkatkannya dengan kepatuhan pembayaran pajak,” ungkap Prima dalam Media Gathering di Zero Sentul Bogor, Jawa Barat, dikutip Pajak.com (30/7).

Ia menyebutkan, sebenarnya rasio pajak daerah sempat naik dari 1,35 persen menjadi 1,42 persen pada 2019. Namun, kembali menurun pada level 1,2 persen pada 2020 akibat adanya pandemi COVID-19. Prima menekankan, rasio pajak daerah yang tinggi diperlukan agar pemerintah daerah bisa memenuhi kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara mandiri tanpa mengandalkan bantuan dari pusat.

“Maka, UU HKPD dapat merespons kebutuhan pemda, karena kepatuhan Wajib Pajak atas kewajiban perpajakan daerah masih kurang, juga selama ini belum ada langkah dari pemda untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Padahal kita sudah sampaikan, pembuatan peraturan daerah bisa didasarkan pada aturan yang ada. Kita juga punya UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan UU Penagihan Pajak dengan surat paksa, itu bisa dijadikan dasar peraturan daerah,” ungkap Prima.

Sebelumnya, ia juga mengatakan, UU HKPD juga mendorong pemda, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), maupun Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) untuk melakukan pertukaran data perpajakan. Sinergi ini memiliki beragam manfaat, antara lain meningkatkan rasio pajak dan retribusi daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD), penerimaan pajak nasional, serta membangun layanan publik yang lebih baik.

“Kita mendorong adanya kerja sama pertukaran data yang selama ini sudah banyak dilakukan. Kalau tidak salah, ada hampir 300 daerah ikut MoU (memorandum of understanding) antara pemda, DJP, DJPK,” ujar Prima dalam webinar bertajuk Outlook Pajak Daerah Pasca UU HKPD, (30/3).

Ia menjelaskan, UU HKPD memungkinkan pertukaran data perpajakan sebagai syarat pemda melakukan rekonsiliasi fiskal dengan pemerintah pusat untuk mencairkan Dana Bagi Hasil (DBH).

“Terdapat lebih dari Rp 20 triliun dari pajak daerah ataupun pusat yang bisa dikumpulkan dengan melakukan rekonsiliasi fiskal tersebut. Kami juga mendorong DJP untuk melakukan penagihan aktif dan banyak hal terkait capacity building. Sebagai bagian dari Kemenkeu, kami selalu memberi dukungan kepada DJP dari segi fasilitas dan monitoring,” ujar Prima.

Muaranya, pertukaran data perpajakan berpotensi pula meningkatkan PAD, sehingga pemda tidak tergantung oleh dana transfer dari pemerintah pusat. Di sisi lain, UU HKPD juga mendorong penggunaan belanja daerah yang lebih baik, berkualitas, dan sinergis. Dengan begitu, terjadi pemerataan standar layanan publik di seluruh daerah.

“Implementasi UU HKPD diharapkan dapat membuat pelayanan masyarakat di seluruh Indonesia memiliki kualitas yang sama baiknya. Menurunkan ketimpangan horizontal antar daerah dan ketimpangan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah menjadi induk dari pilar untuk meratakan kesejahteraan masyarakat,” harap Prima.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version