Serikat Usaha Muhammadiyah Kritik Kenaikan PPN dan Usulkan Kebijakan Afirmatif
Pajak.com, Jakarta – Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 2025 memicu kritik keras dari kalangan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) menilai kebijakan tersebut akan semakin menambah beban di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih dan berpotensi memperlambat pertumbuhan usaha di sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Sekretaris Jenderal SUMU Ghufron Mustaqim mengungkapkan bahwa kenaikan ini tidak sensitif terhadap realitas dunia usaha, terutama UMKM yang masih berjuang mempertahankan bisnis di tengah menurunnya daya beli masyarakat. Menurutnya, banyak perusahaan, termasuk UMKM, masih dalam fase bertahan, bahkan beberapa terpaksa melakukan pengurangan karyawan atau tutup usaha.
“Kenaikan PPN ini kontraproduktif terhadap upaya pemerintah membuka lapangan pekerjaan, terutama di tengah angka pengangguran yang masih tinggi,” katanya melalui keterangan resmi, dikutip Pajak.com, Kamis (21/11).
Ghufron menambahkan, jika kenaikan PPN menjadi 12 persen benar-benar diterapkan, maka Indonesia akan memiliki tarif tertinggi di ASEAN, melampaui Malaysia yang hanya mematok 6 persen, serta Singapura dan Thailand yang menetapkan 7 persen. Kondisi ini, menurutnya, akan semakin memperberat beban usaha, terutama UMKM, karena harga jual otomatis akan meningkat, yang pada gilirannya menekan daya beli masyarakat.
Ia pun menegaskan bahwa pihaknya mengusulkan tiga kebijakan afirmatif sebagai penyeimbang, apabila kenaikan PPN tetap diberlakukan.
“Kami mengusulkan tiga paket kebijakan afirmasi penguatan UMKM yang bisa dijalankan,” imbuhnya.
Pertama, SUMU meminta agar ambang batas Pengusaha Kena Pajak (PKP) dinaikkan dari Rp 4,8 miliar menjadi Rp 15 miliar per tahun agar usaha kecil tidak terlalu cepat terkena beban pajak tambahan. Kedua, SUMU meminta agar plafon Kredit Usaha Rakyat (KUR) ditingkatkan dari Rp 500 juta menjadi Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar per orang.
Peningkatan ini, lanjut Ghufron, dianggap penting agar UMKM dapat berkembang menjadi usaha menengah. Ketiga, SUMU juga mendesak pemerintah menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) badan dari 22 persen menjadi 20 persen, untuk memberikan ruang bagi perusahaan memperkuat modal dan mendorong pertumbuhan usaha.
Di sisi lain, Koordinator Daerah SUMU Banyumas Brili Agung juga menolak rencana kenaikan PPN ini. Ia mengingatkan bahwa kebijakan ini akan menambah beban di tengah situasi ekonomi yang sudah sulit, terutama dengan banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor. Menurut Brili, PPN yang lebih tinggi justru kontraproduktif dengan target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan pemerintah.
“Bagaimana ekonomi bisa tumbuh jika pelaku usaha sudah dibebani potongan 12 persen di awal?” ungkapnya.
Selain itu, Brili menyoroti penurunan jumlah kelas menengah, yang menjadi konsumen utama UMKM, sebagai risiko serius jika kenaikan PPN tetap dilaksanakan. Ia berharap, pemerintah lebih mempertimbangkan pajak alternatif bagi kalangan super kaya, alih-alih membebani pelaku usaha kecil.
Brili menyebut bahwa SUMU Banyumas berencana menggelar audiensi dengan DPRD setempat untuk menyampaikan aspirasinya, mengingat dampak dari kebijakan ini tidak hanya dirasakan oleh pengusaha, tetapi juga oleh masyarakat luas. Melihat berbagai keberatan ini, Brili mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan kenaikan PPN atau setidaknya memberikan solusi konkret guna meringankan beban UMKM agar sektor ini tetap mampu menjadi motor penggerak perekonomian nasional.
Comments