in ,

Bahlil Kritik Kebijakan PPN pada Eksplorasi Migas yang Hambat Kemandirian Energi

Bahlil Kritik Kebijakan PPN
FOTO: Dok. Kementerian ESDM

Bahlil Kritik Kebijakan PPN pada Eksplorasi Migas yang Hambat Kemandirian Energi

Pajak.comJakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia kritik kebijakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada kegiatan eksplorasi minyak dan gas yang baru beroperasi. Bahlil menilai kebijakan ini sebagai hambatan besar bagi upaya Indonesia mencapai kemandirian energi.

Bahlil mengungkapkan, investor diwajibkan membayar PPN di awal, bahkan sebelum ada penemuan sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan.

“Kalau di negara-negara lain, orang (investor asing) masuk itu dikasih sweetener. Kalau di negara kita, bukan sweetener, tapi dikasih pajak duluan. Masa orang baru eksplorasi, dikasih PPN duluan, belum tentu itu barang ada,” kata Bahlil dikutip dari BTV, Jumat (20/12).

Bahlil menyatakan bahwa kebijakan pajak yang agresif ini justru mendorong investor untuk mencari peluang di negara lain yang menawarkan kondisi yang lebih menguntungkan. “Banyak investor yang sudah memilih untuk meninggalkan Indonesia karena kebijakan pajak yang memberatkan ini,” tambahnya.

Baca Juga  Dapat Fasilitas Fiskal Berikat, Legend Packaging Indonesia Siap Ekspor ke Amerika Utara

Ia mengungkapkan bahwa biaya eksplorasi minyak sangat tinggi, yang bisa mencapai 100 juta dollar Amerika Serikat (AS) untuk satu sumur, semakin membebani investor dengan kewajiban PPN yang harus dibayar di muka. Saat ini, para investor harus menanggung tambahan pajak sebesar 12 juta dollar AS di luar biaya eksplorasi yang sudah besar, meskipun belum ada jaminan hasil yang bisa diperoleh.

“Satu sumur itu bisa mengeluarkan kocek 1 juta dollar AS, ini belum tentu ada. Kalau langsung kita kenakan PPN, artinya menjadi 110 juta dollar AS hingga 112 juta dollar AS. Ini orang belum tentu ada barang. Lari, lah orang,” ujar Bahlil.

Ia pun mengklaim tengah melakukan negosiasi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar pemerintah dapat membebani PPN kepada investor asing setelah mereka mendulang keuntungan dari investasi.

Baca Juga  Strategi Progresif BPHTB untuk Akses Hunian yang Adil

“Caranya bagaimana, ini saya lagi negosiasikan dengan Menteri Keuangan. Kalau pada saat masa eksplorasi, PPN jangan dikenakan dulu,” imbuhnya.

Bahlil mengusulkan agar PPN hanya dibayarkan setelah tahap eksplorasi membuahkan hasil. Menurutnya, pendekatan seperti ini lebih adil dan akan mendukung Indonesia untuk meningkatkan produksi minyak dalam negeri.

“Sudah, PPN jangan dibayar di depan. Sweetener-nya, PPN dibayar di belakang. Selama eksplorasi, bebas pajak. Nanti sudah ditemukan, sudah ada hasil, baru bayar pajak. Fair dong? Pada saat investor dapat keuntungan, kita bicarakan,” tegasnya.

Bahlil juga menambahkan bahwa pajak seharusnya dibayar berdasarkan nilai tambah, bukan berdasarkan kerugian. “Bagi pengusaha membayar pajak pun itu worth it karena PPN-nya Pajak Pertambahan Nilai. Bukan pajak kerugian nilai. Jadi kalau orang rugi, jangan dipijakkan dong. Kalau begitu, kapan lifting kita bisa naik?” tambahnya.

Baca Juga  BKF Proyeksi Pajak Minimum Global Tambah Penerimaan Hingga Rp8,8 T

Sebagaimana diketahui, Indonesia kini menghadapi penurunan produksi minyak yang signifikan, sekitar 616.000 barel minyak per hari, jauh di bawah target pemerintah yang sebesar 1 juta barel per hari pada 2030. Di sisi lain, produksi gas juga masih jauh dari target, dengan angka saat ini mencapai sekitar 5.586 juta kaki kubik standar per hari.

Penurunan produksi ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain lapangan minyak yang menua, cadangan semakin kecil, tekanan reservoir semakin menurun, isu kenaikan produksi air dan pasir yang berdampak terhadap produksi, keekonomian, hingga kebutuhan untuk meningkatkan efisiensi operasional. Termasuk kebijakan pajak yang dinilai memberatkan, turut memperburuk kondisi ini.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *