Menu
in ,

PPN Sembako, Pajak Tak Langsung yang Jadi Polemik

Pajak.com, Jakarta – Bocornya draf Revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) beberapa waktu lalu sempat memicu polemik publik. Draf yang masih berbentuk rancangan ini di antaranya memuat rencana pemerintah untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang dan jasa yang menjadi hajat hidup orang banyak, yakni barang kebutuhan pokok atau sembako.

Pemerintah pun akhirnya mengklarifikasi bahwa tidak semua sembako dikenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai. Sembako nonpremium yang dibeli di pasar tradisional akan terbebas dari pajak (PPN). Untuk komoditas beras, misalnya, beras lokal akan terbebas dari PPN karena banyak dikonsumsi masyarakat pada umumnya. Namun beras premium seperti beras basmati dan beras shirataki bisa dipungut PPN. Pasalnya, beras kalangan kelas atas itu berharga 5-10 kali lipat dari harga beras lokal. Begitu juga dengan komoditas lain seperti daging sapi. Daging sapi yang akan dipungut pajak adalah daging sapi Kobe dan daging sapi Wagyu yang harganya sekitar 10-15 kali lipat dari harga daging sapi biasa.

Berangkat dari polemik itu, banyak masyarakat awam yang ingin mengetahui lebih jauh soal PPN. Mengutip laman resmi Kementerian Keuangan, PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh Wajib Pajak Pribadi atau Wajib Pajak Badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan kata lain, PPN termasuk jenis pajak tidak langsung. Mereka yang berkewajiban memungut, menyetor dan melaporkan PPN adalah para Pedagang/Penjual. Namun, pihak yang berkewajiban membayar PPN adalah konsumen akhir. Artinya, beban PPN tersebut ditanggung oleh orang yang membeli barang dan atau jasa kena pajak.

Mengutip laman resmi pajak.go.id, pengenaan PPN diatur berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPN. Dalam regulasi tersebut, disebutkan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; impor BKP; penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; ekspor BKP Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP); ekspor BKP Tidak Berwujud oleh PKP; dan ekspor JKP oleh PKP.

Secara khusus, PPN juga dikenakan atas kegiatan membangun sendiri (KMS) yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya (PM) tidak dapat dikreditkan karena perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.

Berdasarkan aturan yang berlaku saat ini, jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang yang meliputi, barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; barang kebutuhan pokok (sembako) yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan uang, emas batangan, dan surat berharga.

Sementara itu, jenis-jenis jasa yang tidak dikenai PPN adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa pelayanan kesehatan medik; jasa pelayanan sosial; jasa pengiriman surat dengan prangko; jasa keuangan; jasa asuransi; jasa keagamaan; jasa pendidikan; jasa kesenian dan hiburan; jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan; jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri; jasa tenaga kerja; jasa perhotelan; jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; jasa penyediaan tempat parkir; jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan jasa boga atau katering.

Dalam mengenakan PPN, saat ini Indonesia masih menganut sistem tarif tunggal. Tarif yang berlaku sebesar 10 persen. Hal ini diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version