Pengusaha Jalan Tol Keluhkan Beban Pajak dan Tak Dapat Insentif Fiskal
Pajak.com, Jakarta – Pengusaha jalan tol yang tergabung dalam Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI) menyampaikan sederet keluhan terkait beban fiskal yang mereka hadapi dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR RI pada Senin (26/5/25). Sekretaris ATI Kris Ade Sudiyono, menegaskan bahwa model pengusahaan jalan tol di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, salah satunya karena kebijakan perpajakan yang dinilai belum berpihak pada sektor infrastruktur.
“Ketika kita melakukan konstruksi jalan tol, biaya konstruksi kami termasuk (Pajak Pertambahan Nilai) PPN. Nilainya mengikuti ketentuan. Sekarang 11 persen,” ujar Kris.
Menurutnya, tidak adanya PPN pada tarif jalan tol membuat pengusaha tidak bisa mengkreditkan pajak masukan dari biaya konstruksi. Akibatnya, seluruh PPN atas pembangunan jalan tol menjadi beban investasi langsung yang menambah berat biaya proyek.
Kris mencontohkan, jika investasi jalan tol sebesar Rp110 miliar, maka hanya Rp100 miliar yang menjadi nilai fisik proyek, sementara Rp10 miliar lainnya merupakan beban fiskal. “Jadi, bukan di net-off antara pajak masukan dan pajak keluaran. Itu analoginya,” tegasnya.
Masalah lain muncul dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dikenakan pemerintah daerah. Dalam beberapa kasus, tarif PBB meningkat tidak wajar, bahkan mencapai 200 hingga 300 persen, tanpa mengikuti inflasi.
Kris menyoroti kasus Jalan Tol Semarang–Demak yang juga berfungsi sebagai tanggul laut. Meski bukan murni untuk tol, bangunan pelindung itu tetap dikenai PBB yang dibebankan kepada pengusaha jalan tol.
“Saya ambil contoh adalah jalan tol Semarang-Demak, di mana konstruksi jalan tol selain digunakan untuk tol, juga untuk tanggul laut,” jelasnya.
“Jadi, bangunan beton yang digunakan untuk menangkal rob, itu harus dibayar PBB-nya oleh kami. Ini aspek kedua fiskal yang menurut kami mungkin perlu kita pikirkan bersama supaya bisa menjadi upaya kita mempertahankan model pengusahaan jalan tol kita,” tambahnya.
Kendala berikutnya adalah masa manfaat dari fasilitas pengurangan pajak atas kerugian (loss carry forward). Industri jalan tol, kata Kris, umumnya membutuhkan waktu 10–15 tahun untuk mencapai titik impas.
Sayangnya, jangka waktu maksimal pembebanan kerugian hanya lima tahun sesuai aturan fiskal yang berlaku. Artinya, banyak perusahaan jalan tol yang tidak bisa memanfaatkan insentif ini karena kerugian mereka berlangsung jauh lebih lama dari masa yang diizinkan.
“Dengan demikian, kami tidak bisa memanfaatkan fasilitas loss carry forward tax ini atau tadi pembebanan kerugian pada keuntungan perusahaan di jalan tol. Jadi, tidak bisa memanfaatkan periode itu,” imbuhnya.
Yang paling disayangkan, kata Kris, adalah ketidakterlibatan sektor jalan tol dalam skema insentif fiskal seperti tax holiday dan tax allowance sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2017. Padahal, mayoritas investasi jalan tol bernilai di atas Rp5 triliun ambang yang seharusnya memenuhi syarat pemberian insentif.
“Harusnya sektor ini eligible untuk mendapatkan insentif tax holiday maupun tax allowance. Sayangnya, jalan tol tidak dimasukkan. Jadi, kami juga tidak mendapatkan insentif fiskal ini,” jelasnya.
Kris bilang, akibat berbagai beban fiskal tersebut, sebagian besar Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) kini berada dalam kondisi negative cashflow, dan hanya segelintir yang mulai mencatatkan pendapatan melebihi biaya operasional. Namun, mereka masih harus fokus mengembalikan pokok dan bunga pinjaman kepada kreditur.
Lebih lanjut, ATI bahkan mengidentifikasi sejumlah ruas tol yang diperkirakan tidak akan pernah mencapai titik impas atau survive hingga masa konsesi berakhir. Hal ini membuat ATI mendorong pemerintah untuk mencari terobosan kebijakan, termasuk kemungkinan pengambilalihan hak konsesi oleh pemerintah terhadap ruas-ruas jalan tol yang dinilai tidak akan mampu bertahan.
“Mungkin kita harus mencari terobosan untuk ruas-ruas yang dalam kondisi ini, kita harus memberikan sebuah kebijakan,” jelasnya.
Comments