PPN Indonesia Akan Disamakan dengan Singapura? Perusahaan Perlu Cermati Tantangan Penghitungan Berdasarkan PMK 131/2024.
Pajak.com, Jakarta – Pemerintah berencana menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia menjadi setara dengan Singapura sebesar 9 persen. Wacana yang menuai sorotan itu disampaikan Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi Hashim Djojohadikusumo.
Sebelumnya, polemik kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen mendorong pemerintah untuk menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 pada 31 Desember 2024. Meski pemberlakuan PPN 12 persen hanya untuk barang dan/jasa mewah, Partner TaxPrime Aries Prasetyo mencermati tantangan krusial perubahan mekanisme penghitungan PPN dalam PMK 131 Tahun 2024.
”Tantangan krusial terjadi saat Wajib Pajak badan atau perusahaan sudah mempersiapkan sistem untuk mengakomodir tarif PPN 12 persen dari sebelumnya 11 persen. Sedangkan, pemerintah memutuskan masih menetapkan tarif PPN 11 persen atas [barang/jasa] untuk masyarakat khalayak ramai dan mengubah mekanisme DPP [dasar pengenaan pajak] 11/12 lewat PMK 131 yang terbit 31 Desember 2024 dan berlaku 1 Januari 2025. Itulah kekisruhan Wajib Pajak [dalam] menghadapi aturan ini,” ujar Aries dalam wawancara di Kantor TaxPrime Menara TTH Jakarta Selatan, dikutip Pajak.com, (26/5/2025).
Meski demikian, ia meyakini bahwa PMK Nomor 131 Tahun 2024 telah gamblang mengatur perubahan mekanisme penghitungan PPN, sehingga diproyeksi tidak mengganggu kelangsungan bisnis perusahaan atau iklim investasi di Indonesia.
”Saya rasa perusahaan sampai saat ini sudah tidak ada isu kendala penerapan PMK Nomor 131 Tahun 2024, karena aturan ini cukup memberikan detail bagaimana mekanisme penghitungan PPN 12 persen melalui skema DPP nilai lain,” ungkap Aries.
Ia pun menilai, PMK Nomor 131 Tahun 2024 telah mengakomodir kebutuhan perusahaan, antara lain karena mengatur pengkreditan PPN oleh lawan transaksi. Dengan demikian, Aries berharap Wajib Pajak tidak perlu khawatir dengan perubahan mekanisme penghitungan PPN dalam PMK Nomor 131 Tahun 2024.
3 Ketentuan Pokok Perubahan Mekanisme Penghitungan PPN
Aries membeberkan ada 3 ketentuan pokok dalam PMK Nomor 131 Tahun 2024. Pertama, untuk barang mewah PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif 12 persen dengan DPP berupa harga jual atau nilai impor.
”Tapi khusus untuk penyerahan barang mewah kepada konsumen akhir oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang berhak membuat faktur pajak eceran, mulai 1 Januari sampai 31 Desember 2025, PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif 12 persen dengan DPP berupa 11/12 dari harga jual,” jelas Aries.
Kedua, untuk barang selain barang mewah dan untuk jasa serta barang tidak berwujud, PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif 12 persen dengan DPP berupa nilai lain sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian. Meski beberapa kalangan menilai DPP nilai lain memiliki kompleksitas yang tinggi, namun Aries mengingatkan skema tersebut sejatinya bukan mekanisme penghitungan baru di Indonesia.
”Transaksi menggunakan DPP nilai lain, sejak dulu sudah ada dalam UU KUP dan UU PPN. Sebenarnya ini mekanisme biasa, khususnya bagi perusahaan sektor ekspedisi, namun saat ini mekanisme DPP nilai lain untuk mengakomodir tarif PPN 11 persen,” ungkap Aries.
Ketiga, untuk BKP/JKP yang dikenai PPN dengan DPP nilai lain atau besaran tertentu dengan PMK tersendiri. Dalam konteks ini PPN dihitung sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pajak masukan tersendiri, seperti elpiji 3 kg, emas perhiasan, kendaraan bermotor bekas, aset kripto, dan lain sebagainya.
”Dengan mekanisme perubahan itu, Wajib Pajak juga memenuhi tantangan pembuatan e-Faktur. Terlepas masalah core tax, kalau pembuatan faktur pajak bagi perusahaan yang memiliki transaksi besar, misalnya juga melakukan ekspor dan impor, tidak ada masalah seharusnya. Kalau pengisian satu-dua [transaksi] secara manual, itu lumayan tantangan karena harus menentukan DPP nilai lain 11/12,” ujar Aries.
Comments