in ,

PPN Rawan Sengketa, TaxPrime Navigasi Strategi Mitigasi Dampak Penerapan PMK 131/2024

Foto: Tiga Dimensi

PPN Rawan Sengketa, TaxPrime Navigasi Strategi Mitigasi Dampak Penerapan PMK 131/2024

Pajak.com, Jakarta – Meskipun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 baru berlaku mulai 1 Januari 2025, Partner TaxPrime Aries Prasetyo menyoroti potensi sengketa pajak yang timbul di kemudian hari. Ia pun memberikan navigasi strategi dalam menghadapi potensi sengketa demi memitigasi risiko perpajakan. Dalam wawancara eksklusif bersama Pajak.com, Aries menekankan bahwa kunci dari mitigasi sengketa adalah mematuhi kewajiban penghitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diatur dalam PMK Nomor 131 Tahun 2024.

”Sebenarnya, dengan adanya PMK Nomor 131 Tahun 2024 tidak ada alasan untuk tidak patuh. Aturan ini hanya mengubah sedikit saja mekanisme penghitungan PPN 11 persen dengan skema Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain 11/12,” ujar Aries dikutip Pajak.com, (27/5/25).

Namun, berdasarkan pengalamannya sekitar 21 tahun mengabdi di DJP dan hampir satu dasawarsa menjadi konsultan pajak, terdapat pola sengketa pajak terkait koreksi PPN. Pola tersebut seyogianya juga dapat dimitigasi oleh perusahaan dalam mematuhi PMK Nomor 131 Tahun 2024.

Baca Juga  Merger dengan Nilai Buku dalam PMK-81/2024 dan PER-8/PJ/2025

”Biasanya yang lebih banyak sengketa pajak terkait PPN itu karena dipicu oleh pasal karet, yaitu mengenai perbedaan penafsiran apakah pajak masukan itu terkait dengan kegiatan usaha atau tidak. Ini debatable, di sisi Wajib Pajak itu terkait dengan kegiatan usaha, di sisi pemeriksa pajak itu tidak terkait dengan kegiatan usaha karena itu merupakan barang yang dikonsumsi langsung. Sehingga PPN-nya harusnya dibiayakan, bukan dikreditkan,” ungkap Aries.

Kemudian, sengketa pajak atas koreksi PPN biasanya terjadi akibat kesalahan pembuatan faktur pajak. Untuk itu, ia menyarankan perusahaan memahami lebih cermat mematuhi berbagai turunan dari PMK Nomor 131 Tahun 2024, seperti Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2025 (PER-01/PJ/2025).

”Maka, yang harus diperhatikan, yaitu saat penerbitan faktur pajak, kita melihat lagi aturan-aturan yang berlaku secara spesifik saat terjadinya penyerahan itu. Hal yang perlu diperhatikan juga soal perbedaan barang kena pajak dengan penyerahan jasa kena pajak. Ini kondisi-kondisinya bisa berbeda,” jelas Aries.

Baca Juga  Penerimaan Pajak Jebol, IEF: Pemerintah Berpotensi Revisi Kebijakan Perpajakan Dalam Waktu Dekat

Sejurus kemudian, Wajib Pajak harus bisa menentukan pajak masukan yang terkait dengan kegiatan usaha.

”Kita pernah ada case, pajak masukannya itu dikoreksi oleh pemeriksa. Pajak masukan yang diperoleh oleh Wajib Pajak itu dikoreksi faktur pajaknya dengan alasan itu dikonsumsi langsung oleh perusahaan bukan terkait dengan kegiatan usaha. Tetapi kita melihatnya terkait dengan kegiatan manajemen,” ungkap Aries.

Maka, argumentasi yang dibangun harus membuktikan bahwa kegiatan perusahaan tersebut masuk dalam proses bisnis manajemen. Mengingat dalam sebuah perusahaan, terdapat kegiatan manajemen, distribusi, produksi, dan pemasaran.

”Karena argumentasi kita itu kegiatan manajemen perusahaan, seharusnya PPN bisa dikreditkan, bukan dibiayakan. Hal itu yang disengketakan dan kami menang di tahap keberatan,” tegas Aries.

Dengan demikian, ia menekankan perlunya strategi argumentasi yang tepat dan akurat dalam menyelesaikan sengketa pajak terkait koreksi PPN. Seirama dengan itu, Wajib Pajak harus memiliki data dan/dokumen untuk mendukung argumentasi tersebut.

Baca Juga  Tarif Pajak 10 Persen untuk Lapangan Padel di Jakarta Resmi Berlaku, Ini Penjelasannya!

”Contoh simpel, soal tempat sampah yang berada di area pabrik. Kalau dibilang enggak berkaitan langsung, tidak juga. Tempat sampah itu menunjang juga kegiatan operasional perusahaan. Jadi, pasal karet dalam aturan PPN harus bisa dibuktikan Wajib Pajak dengan argumentasi [yang kuat] dan data pendukung yang tepat,” imbuh Aries.

Merujuk pengalamannya mendampingi perusahaan di Kawasan Berikat, secara spesifik Aries menyarankan agar Wajib Pajak di Kawasan Berikat atau Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) lebih mematuhi dengan saksama aturan penerapan PPN. Pasalnya, perusahaan di Kawasan Berikat akan menjadi prioritas Wajib Pajak yang diperiksa oleh DJP.

”Justru karena Wajib Pajak di Kawasan Berikat sudah diberikan banyak kemudahan dan fasilitas. Istilahnya, diberikan hadiah oleh pemerintah. Untuk itu, pemerintah akan lebih memprioritaskan untuk memastikan apakah fasilitas dan kemudahan itu dimanfaatkan secara benar,” ungkapnya.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *