in ,

Pajak Natura Beri Keadilan Perusahaan & Karyawan

Pajak Natura Beri Keadilan Perusahaan & Karyawan
FOTO: IST

Pajak Natura Beri Keadilan Perusahaan & Karyawan

Pajak.com, Jakarta – Dirjen Pajak Suryo Utomo menilai, pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas natura akan beri keadilan bagi perusahaan dan seluruh karyawan. Pemerintah menilai, high level employee (Chief Executive Officer atau CEO, direktur, atau komisaris) mampu meminimalisasi pajak yang harus dibayar karena menerima penghasilan nontunai (kenikmatan natura), sedangkan karyawan biasa harus membayar pajak secara penuh karena lebih banyak menerima penghasilan dalam bentuk gaji atau upah.

Seperti diketahui, pengenaan pajak atas natura merupakan amanat dari Undang-Undang UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan secara teknis diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Berdasarkan aturan ini natura dan/atau kenikmatan untuk pelaksanaan pekerjaan adalah natura sehubungan dengan persyaratan keamanan, kesehatan, dan keselamatan pegawai yang diwajibkan oleh kementerian/lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 26 PP Nomor 55 Tahun 2022 disebutkan, natura dan/atau kenikmatan di daerah tertentu, antara lain sarana prasarana untuk pegawai dan keluarganya dalam bentuk tempat tinggal, pelayanan kesehatan, pendidikan, peribadatan, pengangkutan, dan olahraga selain golf, balap perahu bermotor, pacuan kuda, terbang layang, atau olah raga otomotif.

“Imbalan dalam bentuk natura yang diterima oleh karyawan akan diperlakukan sebagai objek pajak. Pengenaan PPh atas natura ini lebih memberikan rasa keadilan bagi pemberi kerja karena biaya terkait dengan kegiatan mengumpulkan penghasilan mestinya dapat dibiayakan. Bagi penerima merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang menjadi objek pajak,” jelas Suryo, dalam Konferensi Pers APBN KiTa (Kinerja dan Fakta) yang disiarkan secara virtual, dikutip Pajak.com(4/1).

Baca Juga  Tahapan Pengajuan Permohonan Penetapan Keasalan Barang Sebelum Impor

Dengan demikian, bila pegawai menerima natura dan/atau kenikmatan pada tahun pajak 2022, penghasilan ini harus dihitung secara mandiri. Pembayaran pajak atas natura itu paling lambat dibayarkan saat jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan 2022, yakni 31 Maret 2023. Di sisi lain, dalam Pasal 30 PP Nomor 55 Tahun 2022, pemberi kerja atau pemberi penggantian imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan wajib melakukan pemotongan PPh.

Treatment untuk natura sebagai biaya bagi pemberi dan penghasilan bagi penerima telah diatur dalam UU HPP dan berlaku mulai tahun pajak 2022,” kata Suryo.

Ia mengatakan, masih akan ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang diterbitkan untuk memerinci mekanisme pemotongan pajak atas natura oleh pemberi kerja. Pemotongan pajak baru dilakukan pada tahun ini.

“Pemotongan terhadap pajak atas natura tidak dilakukan selama 2022 dan akan dilakukan setelah PMK diterbitkan supaya pelaksanaannya berjalan dengan baik,” tambah Suryo.

Kendati demikian, terdapat natura dan/atau kenikmatan yang bukan objek pajak. Berdasarkan Pasal 24 PP Nomor 55 Tahun 2022, natura dan/atau yang bukan objek PPh, antara lain makanan dan minuman bagi pegawai; natura dan/atau kenikmatan di daerah tertentu; natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan kerja, natura dan kenikmatan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah/Desa (APBN/APBD/APBDes); serta natura dan kenikmatan dengan jenis dan batasan tertentu.

Baca Juga  Peringati HUT Kota Malang, Bapenda Gelar Program Pemutihan Pajak

Sekilas mengulas, ditetapkannya natura dan/atau kenikmatan sebagai objek PPh dilatarbelakangi oleh kajian pemerintah yang mengungkapkan bahwa pengecualian natura dari objek pajak justru dinikmati oleh high level employee, seperti CEO, direktur, dan komisaris.

Kementerian keuangan memproyeksi, belanja pajak yang timbul pada 2016 hingga 2019 akibat pengecualian natura dan/atau kenikmatan dari objek pajak mencapai Rp 5,1 triliun. Dari total belanja pajak ini sebesar 51,17 persen justru dinikmati oleh Wajib Pajak orang pribadi dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) di atas Rp 500 juta. Wajib Pajak orang pribadi dengan PKP senilai Rp 0 hingga Rp 50 juta hanya menikmati sebesar 9,79 persen terhadap total belanja pajak yang timbul akibat pengecualian natura dari objek pajak. Dengan demikian, pemerintah menilai, ada ketidakadilan antara high level employee dan karyawan pada umumnya.

Pada kesempatan berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menegaskan, fasilitas kantor yang didapat karyawan, seperti laptop dan ponsel, tidak akan dikenakan pajak karena merupakan biaya bagi perusahaan. Ia memastikan, tujuan pengenaan pajak natura untuk menciptakan keadilan bagi Wajib Pajak, sehingga tidak semua karyawan yang mendapat fasilitas kantor akan dikenakan pajak atas natura.

Baca Juga  IKAPRAMA dan IKPI Jaksel Gelar Bimtek Persiapan Hingga Tahapan Pelaporan SPT Badan

“Kalau pekerja dapat fasilitas laptop, masa dipajakin? Kan, tidak begitu. Pekerja dikasih fasilitas kendaraan atau uang makan, ya kan bukan itu. Tapi ini adalah yang merupakan fringe benefit yang memang untuk beberapa segmen kelompok profesi tertentu luar biasa besar. Jadi, kita hanya akan memberikan suatu threshold tertentu. Kalau CEO itu fringe benefit banyak banget, biasanya jumlahnya sangat besar,” jelas Sri Mulyani dalam Kick Off Sosialisasi UU HPP, (19/11).

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *