Menu
in ,

Pajak Minimum Global Turunkan Investasi 2 Persen

Pajak.com, Swiss – United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam World Investment Report 2022 memproyeksikan, pemberlakuan pajak minimum global (global minimum taxation) 15 persen yang direncanakan berlaku tahun 2023, akan menurunkan investasi asing sebesar 2 persen.

Sebagai informasi, UNCTAD adalah salah satu organisasi utama Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang fokus menangani isu perdagangan, investasi, dan pembangunan. Organisasi yang didirikan sejak 1964 ini bermarkas di Jenewa (Swiss) dan beranggotakan 191 negara.

Bagaimana latar belakang dan apa itu pajak minimum global 15 persen? Pajak minimum global 15 persen tertuang dalam Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)/G20 dan Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)OECD mendefinisikan pajak minimum global sebagai pajak minimal yang harus dibayarkan bagi setiap perusahaan multinasional domestik yang mendapatkan penghasilan dari luar negeri. Adanya aturan ini bertujuan untuk memastikan perusahaan multinasional domestik membayar tingkat pajak minimumnya dengan kantor pusat dan yurisdiksi di manapun mereka beroperasi. Selain itu, tujuan pajak minimum global adalah untuk menangkal penggerusan atau penghindaran pajak.

Apa saja ketentuan dalam pajak minimum global? Ketentuan pajak minimum global akan diberlakukan bagi perusahaan multinasional dengan nilai penghasilan bruto sebesar 750 juta euro atau sekitar Rp 11 triliun per tahun. Nilai ini merujuk pada batasan (threshold) yang sudah diberlakukan melalui laporan per negara (country by country reporting/CbCR) dan dokumentasi transfer pricing pada Aksi 13 BEPS.

“Skenario baseline menunjukkan adanya potensi penurunan penanaman modal asing secara global sebesar minus 2 persen,” tulis UNCTAD dalam laporannya, dikutip (10/6).

Selain itu, dengan berlakunya Pilar 2, dorongan bagi korporasi multinasional untuk melakukan profit shifting juga diproyeksi bakal menurun. UNCTAD menjelaskan, bila korporasi multinasional memiliki anak usaha yang membayar pajak dengan tarif efektif di bawah 15 persen, maka perusahaan multinasional itu harus membayar top up tax di yurisdiksi domisili.

“Dalam hal penerimaan pajak, baik negara maju maupun negara berkembang diekspektasikan akan mendapatkan manfaat dengan berlakunya pajak minimum global,” tulis UNCTAD.

Secara simultan, keberadaan Pilar 2 turut memberikan implikasi besar terhadap kebijakan-kebijakan yang selama ini diterapkan setiap negara. Di sisi lain, kesadaran negara untuk melakukan penyesuaian kebijakan masih rendah.

“Lebih dari sepertiga Investment Promotion Agency (IPA) yang disurvei menyatakan, negara belum menyadari reformasi yang terdapat pada Pilar 2. Hanya sekitar 25 persen yang mulai melakukan kajian atas implikasi Pilar 2,” tulis UNCTAD.

Oleh karena itu, UNCTAD mendorong setiap negara untuk segera melakukan evaluasi kebijakan, khususnya mengenai regulasi insentif perpajakan. Pasalnya, terdapat beberapa insentif yang masih ditawarkan negara untuk menarik investasi.

“Insentif-insentif yang diperkirakan akan terdampak besar oleh pajak minimum global adalah tax holiday dan insentif pengurangan tarif pajak menjadi di bawah 15 persen atas aktivitas investasi. Insentif yang diperkirakan tetap efektif diberikan seiring pajak minimum global, antara lain insentif percepatan penyusutan dan loss carry forward,” tulis UNCTAD

UNCTAD mengusulkan, agar setiap negara, khususnya negara berkembang untuk menyesuaikan kebijakan perpajakan dengan Pilar 2 dan program Sustainable Development Goals (SDGs).

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menegaskan, Indonesia siap mengimplementasikan pajak minimum 15 persen. Menurutnya, pada pertemuan pertama Finance Ministers dan Central Bank Governors (FMCBG) G20 di Februari 2022 lalu, pilar pajak itu telah disepakati dan akan dilaksanakan pada tahun 2023 oleh anggota G20.

Di sisi lain, seperti laporan UNCTAD, Suahasil juga mengakui, salah satu tantangan bagi Indonesia adalah adanya sejumlah insentif pajak yang masih ditawarkan kepada investor, diantaranya tax allowance, tax holiday, super tax deduction, pembebasan bea masuk impor barang modal atau bahan baku untuk investasi, dan bea masuk ditanggung pemerintah.

Maka dari itu, diperlukan suatu transisi agar ­pelaksanaan Pilar 2, penerapan pajak minimum global bisa dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik,” tambah Suahasil.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version