in ,

Pajak Jual-Beli Tanah, Jenis dan Cara Menghitungnya

Pajak Jual-Beli Tanah
FOTO: IST

Pajak Jual-Beli Tanah, Jenis dan Cara Menghitungnya

Pajak.com, Jakarta – Situasi ekonomi yang sedang sulit membuat usaha yang sedang dirintis tak berjalan sesuai harapan. Terkadang kondisi itu membuat kita terpaksa menjual aset kita untuk menambah modal usaha. Salah satunya aset tanah atau properti lainnya. Namun, jangan lupa. Dalam transaksi penjualan tanah itu ada kewajiban pajaknya yang harus disetorkan untuk negara. Apa saja aspek pajak dalam transaksi  jual-beli tanah, dan bagaimana cara menghitungnya?

Secara umum, ada tiga jenis pajak yang akan muncul dari sebuah transaksi jual-beli tanah, yakni:

1. Pajak Penghasilan (PPh) Final, yang dikenakan kepada si penjual;
2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang dikenakan kepada pembeli; dan
3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Namun, tidak semua pembelian tanah dibebankan PPN. Hanya tanah yang digunakan sebagai usaha dan memperoleh keuntungan saja yang dikenakan PPN.

Mengutip laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada Kamis (11/8/22), pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2016.

Sementara aturan turunannya adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 261/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/Atau Bangunan Beserta Perubahannya.

PPh Final
Baca Juga  Bittime: Perusahaan “Blockchain” dan Aset Kripto Berkontribusi Lewat Pembayaran Pajak 

Pada PP Nomor 34 Tahun 2016 dijelaskan, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, terutang PPh yang bersifat final.

Tarif PPh itu ada tiga lapis, yakni:

2,5 persen, 1 persen, dan 0 persen. Besaran tarif itu tergantung dari jenis transaksinya, yang kemudian dikenakan dari jumlah bruto nilai pengalihan.

Tarif 2,5 persen

dikenakan untuk transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana (RS) atau Rumah Susun Sederhana (RSS) yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Tarif 1 persen

Untuk transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa RS dan RSS yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Tarif 0 persen

Untuk transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Baca Juga  DJP: NIK Sudah Terintegrasi, Tarif PPh Lebih Tinggi Tak Berlaku

Contoh perhitungannya, misalnya untuk tarif 2,5 persen seperti poin pertama. Sebidang tanah diperjualbelikan senilai Rp 400 juta, maka besarnya PPh adalah, tarif pajak  2.5 persen x Rp 400 juta=Rp 10 juta.

Sebagai catatan, sesuai Pasal 6 huruf a PP Nomor 34 Tahun 2016, ada pengecualian kewajiban pembayaran atau pemungutan PPh bagi orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp 60 juta dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah.

Berdasarkan aturan ini, Wajib Pajak tadi dikecualikan dari pengenaan PPh Final, tetapi ada prosedur yang harus dilakukan, yakni harus mendapatkan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/ atau bangunan beserta perubahannya.

BPHTB

Selanjutnya adalah aspek pajak BPHTB. Peraturan mengenai pengenaan BPHTB dapat dilihat pada Undang-Undang nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan atas UU nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Besarnya tarif BPHTB adalah 5 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang sudah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Nilai dari NJOP pada tiap wilayah biasanya tidak sama, sesuai dengan kondisi setempat.

Contoh kasusnya, sebuah tanah diperjualbelikan seharga Rp 300 juta memiliki nilai NPOPTKP sebesar Rp100 juta. Maka nilai BPHTB adalah, tarif BPHTB 5 persen x (Rp300 juta – Rp 100 juta). Jadi, 5 persen x Rp 200 juta = Rp 10 juta.

Baca Juga  Brasil Minta G20 Tegas Atasi Penghindaran Pajak Miliarder
PPN

Penyerahan tanah dan/atau bangunan dengan tujuan diperjualbelikan , sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPN. Misalnya, PT A bergerak di bidang real estate dengan kegiatan utama penjualan tanah dan bangunan, dan telah dikukuhkan sebagai PKP.

Atas transaksi penjualan tanah dan bangunan oleh PT Bangun Baru dikenai PPN berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPN. Adapun tarif normalnya adalah 11 persen sesuai UU terbaru. Misalnya, sebuah tanah diperjualbelikan senilai Rp 400 juta, maka besarnya PPN yang ditanggung adalah tarif PPN 11 persen x Rp 400 juta = Rp 44 juta.

 

 

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *