Pahami Risiko Sengketa “Transfer Pricing” di Jasa “Freight Forwarding”
Pajak.com, Jakarta – Dalam beberapa tahun terakhir, sektor freight forwarding di Indonesia terus menunjukkan perkembangan signifikan seiring dengan pertumbuhan kebutuhan logistik, baik domestik maupun internasional. Namun, di balik pertumbuhan pesat ini, tantangan terkait perpajakan mulai muncul, salah satu tantangan utama adalah risiko sengketa pajak yang timbul dari praktik penetapan harga transfer (transfer pricing) atas perusahaan-perusahaan afiliasi.
Berdasarkan data dari Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), bisnis logistik di Indonesia tumbuh hingga 8 persen pada tahun 2023, mencerminkan tingginya permintaan terhadap jasa pengiriman dan distribusi barang. Lebih lanjut, Supply Chain Indonesia (SCI) mencatat bahwa sektor logistik yang meliputi transportasi dan pergudangan memiliki kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebesar Rp 1.090,2 triliun.
Menurut Transfer Pricing Dispute Advisor TaxPrime Reyna Syalsabella Harahap (Sasha), ditengah perkembangannya, pemahaman mendalam tentang industri freight forwarding dan aspek transfer pricing menjadi kunci untuk menghindari risiko sengketa pajak. Utamanya karena industri seperti freight forwarding memiliki karakteristik transaksi lintas negara.
“Dalam industri freight forwarding, perusahaan umumnya bertindak sebagai perantara yang mengatur pengiriman barang tanpa memiliki aset fisik seperti kapal atau pesawat. Mereka hanya berfungsi sebagai mediator yang mengoordinasikan logistik antar berbagai pihak, baik pengirim, penerima, maupun penyedia jasa transportasi,” jelas Sasha kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime, Menara Caraka, pada (25/9).
Sasha menambahkan, proses pengiriman lintas negara memerlukan koordinasi yang kompleks, sehingga freight forwarder di satu negara tidak bisa bekerja sendiri. Mereka harus bekerja sama dengan mitra di negara tujuan. Jika mitra tersebut merupakan bagian dari entitas afiliasi, maka penetapan harga transaksi antar entitas tersebut menjadi penting untuk memastikan kewajaran harga transfer.
“Penetapan harga yang tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (Arm’s length principle) dapat menimbulkan sengketa dengan otoritas pajak, baik di Indonesia maupun di negara lain,” jelas Sasha.
Sasha menekankan, memahami harga yang lazim di industri freight forwarding adalah tahap awal yang harus dicermati oleh para pelaku usaha untuk meminimalkan risiko sengketa pajak. Pemahaman mendalam tentang bagaimana harga ditetapkan dalam konteks transaksi lintas negara sangat penting, terutama karena industri freight forwarding memiliki dinamika yang unik dan perkembangan yang menjanjikan.
Lebih lanjut, Sasha menjelaskan bahwa untuk meminimalkan risiko sengketa pajak, perusahaan perlu meningkatkan tingkat compliance (kepatuhan) terhadap aturan transfer pricing yang berlaku. “Kepatuhan pajak tidak hanya dilihat dari segi pelaporan, tetapi juga dari bagaimana harga transfer yang ditetapkan dapat dipertanggungjawabkan,” imbuhnya.
Penetapan harga ini harus didasarkan pada latar belakang yang kuat dan rasionalitas bisnis yang jelas, serta harus mampu dihubungkan dengan praktik yang lazim dalam industri freight forwarding. Selain itu, perusahaan perlu memiliki justifikasi yang solid terkait penetapan harga yang digunakan dalam transaksi dengan entitas afiliasi.
“Dalam sengketa pajak, perusahaan harus bersiap untuk dapat membuktikan dengan basis dokumentasi yang cukup, terkait bagaimana penerapan harga wajar diimplementasikan secara aktual oleh perusahaan? Apakah harga tersebut mencerminkan kondisi yang arm’s length? Apakah ada data perusahaan pembanding? Semua ini harus terdokumentasi dengan baik agar dapat dipertanggungjawabkan di hadapan otoritas pajak jika terjadi sengketa,” urai Sasha.
Sasha juga menyoroti bahwa, untuk meningkatkan compliance dan meminimalkan risiko sengketa, sangat perlu untuk melihat panduan pengujian transfer pricing yang berlaku secara internasional seperti Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Transfer Pricing Guidelines dan United Nations Practical Manual on Transfer Pricing serta kasus-kasus serupa yang terdapat dalam putusan pengadilan pajak di Indonesia dan yurisdiksi lain.
“Mengikuti panduan internasional dapat membantu memastikan bahwa praktik transfer pricing sesuai dengan standar global yang diterima. Selain itu, kasus-kasus serupa juga dapat memberikan perspektif tambahan dalam penerapan strategi untuk penyelesaian sengketa,” kata Sasha.
Keselarasan antara penetapan dan pengujian harga transfer dengan panduan internasional serta putusan pengadilan pajak dapat menjadi salah satu dokumen bukti yang kuat saat menghadapi sengketa perpajakan.
Dengan memiliki bukti yang kuat dan sesuai standar internasional, perusahaan dapat lebih siap menghadapi potensi sengketa dan memastikan kepatuhan pajak yang optimal. “Dokumentasi yang baik dan dapat dihubungkan dengan panduan internasional mampu memperkuat posisi perusahaan dalam menghadapi sengketa dengan otoritas pajak,” tegas Sasha.
Sasha meyakini, langkah-langkah tersebut dapat membantu perusahaan dalam mengurangi potensi sengketa pajak.
“Ketika penetapan harga dapat dijelaskan dengan jelas dan sesuai dengan standar industri, perusahaan akan lebih siap dalam menghadapi pemeriksaan dari otoritas pajak, sekaligus meminimalisasi risiko penalti atau koreksi pajak yang bisa mengganggu operasi bisnis mereka,” pungkas Sasha.
Comments