Menu
in ,

Mengenal Definisi dan Tujuan Pos Belanja Perpajakan

Mengenal Definisi dan Tujuan Pos Belanja Perpajakan

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Beberapa hari lalu, Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengkritik pemerintah mengenai pos belanja perpajakan yang tidak jelas karena tak diketahui pasti alokasi anggaran beserta tujuannya. Di sisi lain, pemerintah tak memberi penjelasan atas poin itu. Alhasil, publik pun diselimuti tanda tanya yang serupa dengan DPR. Mari kita coba mengenal definisi, tujuan, serta alokasi pos belanja perpajakan.

a. Definisi

Kepada Pajak.com, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Pande Putu Oka Kusumawardani menjelaskan, belanja perpajakan di Indonesia didefinisikan sebagai penerimaan perpajakan yang tidak dikumpulkan atau berkurang sebagai akibat adanya ketentuan khusus dari sistem pemajakan secara umum (benchmark tax system). Ketentuan ini berlaku hanya kepada sebagian subjek dan objek pajak dengan persyaratan tertentu.

Bentuk-bentuk ketentuan khusus yang berbeda itu, antara lain dapat berupa pajak tidak terutang, pajak yang dibebaskan, pajak tidak dipungut, tarif pajak nol persen, pengurangan basis pajak, pengurangan tarif pajak, pajak ditanggung pemerintah (DTP), serta pengurangan dasar pengenaan pajak (DPP).

Sementara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan belanja perpajakan sebagai transfer sumber daya kepada publik yang dilakukan bukan dengan memberikan bantuan atau belanja langsung (direct transfer) namun melalui pengurangan kewajiban pajak dengan mengacu pada standar perpajakan yang berlaku (tax benchmark).

Belanja perpajakan menurut The Australian Government the Treasury adalah tax expenditure arises where the tax treatment of an activity or class of taxpayer differs from the standard tax treatment that applies to similar taxpayers or types of activity. Tax expenditure ini biasanya melibatkan pembebasan pajak (tax exemptions), pengurangan atau penyeimbangan (deductions or offsets), tarif pajak konsesi (concessional tax rates), dan penangguhan kewajiban pajak (deferrals of tax liability).

“Setiap negara dapat merumuskan konsep dan definisi belanja perpajakan sesuai dengan kondisi di negaranya masing-masing,” kata Oka.

b.  Ketentuan alokasi anggaran

Tidak seperti belanja langsung pemerintah, belanja perpajakan tidak dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Menurut Oka, nilai belanja perpajakan merupakan hasil estimasi dari penyusunan laporan tahun sebelumnya dengan menggunakan standar global.

Jika melihat besaran belanja perpajakan tahun-tahun sebelumnya, nilai belanja perpajakan ada pada kisaran 1,5—1,6 persen dari produk domestik bruto (PDB). Realisasi anggaran belanja perpajakan tahun 2020 Rp 234 triliun.

 c. Manfaat 

Oka kembali menjelaskan, bahwa belanja perpajakan yang ada setiap tahunnya merupakan penerimaan yang tidak dikumpulkan (forgone revenue) oleh pemerintah untuk mendukung tujuan-tujuan tertentu, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan usaha mikro kecil menengah (UMKM), meningkatkan iklim investasi, dan mendukung dunia bisnis.

“Singkatnya, belanja perpajakan terdiri dari berbagai fasilitas/ketentuan khusus di bidang perpajakan yang memberikan dukungan kepada masyarakat dan dunia usaha,” jelas Oka.

Menanggapi kritik DPR, Oka menjelaskan, nilai belanja perpajakan tahun 2021 baru dapat dilaporkan pada tahun 2022. Sehingga pemerintah tidak bisa mencantumkan besaran anggaran pada pos belanja perpajakan di tahun depan.

Periode pelaporan belanja perpajakan dipengaruhi oleh periode ketersediaan data dan kelengkapan informasi yang dibutuhkan. Sebagian penghitungan nilainya mengacu pada sumber data berupa surat pemberitahuan (SPT) tahunan Wajib Pajak (WP) yang sudah terekam di dalam Sistem Informasi DJP (SI DJP).

“Memerhatikan hal tersebut, jika pelaporan belanja perpajakan dilakukan dalam tahun pajak berjalan, justru akan menghasilkan angka yang lebih bersifat peramalan (forecasting) dan diperkirakan belum mendekati kondisi sesungguhnya,”kata Oka.

Eks Kepala Bidang Kebijakan Perpajakan BKF Kemenkeu ini menekankan, bahwa belanja perpajakan tahun 2022 akan terdiri dari peraturan-peraturan yang berlaku saat ini ditambah regulasi baru yang mungkin muncul di tahun 2021 dan 2022.

“Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa belanja perpajakan tidak masuk ke dalam sistem penganggaran APBN, sehingga tidak dianggarkan sebelumnya. Besarannya akan bergantung kepada kondisi ekonomi serta banyaknya WP yang memanfaatkan fasilitas tersebut,” jelas Oka.

Harus transparan

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai, salah satu evaluasi dari belanja perpajakan termasuk besarnya insentif fiskal kepada pengusaha terletak pada transparansi dan output.

“Kalau ditanya apa pengusaha senang dapat insentif pajak, maka jawabannya pasti senang. Bahkan berlomba untuk dapat keringanan aneka pajak. Tapi pertanyaan berikutnya masih sulit dijawab, apakah pengusaha yang mendapatkan insentif pajak berkorelasi dengan kenaikan produktivitas, daya saing dan serapan tenaga kerja? Jawabannya masih belum jelas,” kata Bhima kepada Pajak.com melalui telepon.

Menurut Bhima, di luar negeri belanja pajak punya tujuan yang spesifik. Misalnya, di Selandia Baru ada insentif pajak bagi perusahaan film. Mereka yang mendapat pengurangan tarif pajak penghasilan (PPh) atau pajak pertambahan nilai (PPN), wajib melaporkan kepada publik mengenai kontribusinya pada peningkatan ekonomi atau jumlah tenaga kerja setelah diberi insentif itu. Artinya, ada transparansi.

“Kalau di Indonesia, kan, tidak. Publik tidak bisa melakukan pengawasan soal siapa yang menerima insentif pajak. Hanya disebutkan perusahaan otomotif mendapatkan diskon PPnBM (pajak penjualan atas barang mewah) nol persen, misalnya. Tapi efeknya ke masing-masing perusahaan dan nama perusahaannya tidak disebutkan,” tambah Bhima.

Menurutnya, karena pengawasannya lemah, maka sulit dipastikan belanja perpajakan berimbas positif ke perekonomian Indonesia.

“Di negara lain belanja pajak terukur, kalau diberikan pengurangan sekian persen, maka perusahaan harus lapor dampak ke kinerja perusahaannya bagaimana. Tujuannya agar tidak mengulang kasus zombie company yang marak di Jepang tahun 1980-an, dimana perusahaan yang tidak kompetitif, tidak inovatif, bisa bertahan karena diberikan insentif fiskal terus menerus dari Pemerintah,” kata Bhima.

Akhirnya, ekonomi jadi tumbuh rendah karena pemerintah salah memberikan insentif fiskal. Menurut Bhima, zombie company kini marak lagi khususnya di Indonesia. “Mengemis minta pengurangan pajak, meminta bailout pemerintah padahal si perusahaan harusnya sudah pailit bahkan sebelum pandemi COVID-19,” tambah alumnus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version