in ,

Mencegah Praktik Penghindaran Pajak, TaxPrime: Penguatan Legislasi dan Proteksi Iklim Investasi

Mencegah Praktik Penghindaran Pajak
FOTO: Aprilia Hariani 

Mencegah Praktik Penghindaran Pajak, TaxPrime: Penguatan Legislasi dan Proteksi Iklim Investasi

Pajak.com, Jakarta – Transfer Pricing Compliance and International Tax Advisor Taxprime Bobby Savero mendukung upaya pemerintah dalam mencegah praktik penghindaran pajak (tax avoidance) secara berkelanjutan melalui penerbitan berbagai regulasi antipenghindaran pajak. Ia mengusulkan, pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk menciptakan ketentuan antipenghindaran pajak yang dicantumkan secara eksplisit pada batang tubuh undang-undang. Hal ini untuk memastikan bahwa ketentuan tersebut telah melalui proses legislasi bipartit antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasalnya, upaya menangkal tax avoidance, seperti penerapan General Anti Avoidance Rule (GAAR) akan berimplikasi pada potensi penambahan beban pajak serta berpengaruh pada hak Wajib Pajak.

Hal tersebut disampaikan Bobby dalam acara “The 12th IFA Indonesia Annual International Tax Seminar” yang diselenggarakan oleh International Fiscal Association (IFA) Indonesia, di Financial Hall Graha CIMB Niaga, Jakarta, (10-11/12).

“Saya sangat mengapresiasi progres yang sudah dilewati Indonesia semenjak modern tax reform pertama tahun 1983 (penerbitan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983), itu kita memulai dengan mengatur thin capitalization dan transfer pricing. Kemudian, berangsur-angsur kita punya tambahan-tambahan baru, kita punya aturan mengenai CFC (Controlled Foreign Company), IHOL (International Hiring-out of Labor, anti-conduit, dan lain-lain yang terus bertambah hingga saat ini, termasuk beberapa yang melekat pada aturan tax treaty. Misalnya, mengenai beneficial owner. Semua itu sangat dibutuhkan dalam merespons praktik-praktik tax avoidance,” ungkap Bobby, dikutip Pajak.com(12/12).

Komitmen pemerintah semakin kuat dengan terus dilakukannya penyempurnaan dan pembaruan regulasi untuk menangkal tax avoidance yang dituangkan antara lain dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.

Sebagai insan yang pernah menjadi bagian dari DJP, saya sangat paham sebenarnya bahwa DJP sebagai alat negara memang membutuhkan tools untuk melawan tax avoidance. Negara-negara berkembang maupun maju, semua punya masalah dengan tax avoidance. Untuk itu, sangat dapat dipahami bahwa ketentuan antipenghindaran pajak perlu terus disempurnakan lagi. Namun, niat baik dan semangat ini tetap harus memerhatikan rule of laws dan melewati due process, sehingga pembentukan ketentuan antipenghindaran pajak dan pemberian kewenangan kepada pemerintah harus tetap melalui tahapan-tahapan yang seharusnya dilewati,” ungkap Bobby.

Baca Juga  Bobby Savero, Melayani dan Menebar Ilmu Perpajakan Internasional

Dengan demikian, ia mengusulkan agar muatan ketentuan antipenghindaran pajak harus didahului dengan kesepakatan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memastikan adanya mekanisme checks and balances, tata kelola yang baik, serta perlindungan terhadap hak-hak Wajib Pajak sesuai dengan konstitusi dan pada akhirnya dituangkan pada batang tubuh UU. Ia mengingatkan upaya antipenghindaran pajak sudah pasti memiliki 2 kemungkinan, yakni tambahan pajak yang harus dibayar dan ada hak-hak Wajib Pajak yang mungkin akan dilewati.

“Implementasi anti-avoidance itu pada ujungnya akan berpotensi memunculkan tambahan pajak, menimbulkan beban bagi Wajib Pajak, bagi masyarakat di Indonesia, atau misalnya kemudian bisa mengurangi pelaksanaan hak mereka. Nah, saya berpendapat bahwa setiap item dari ketentuan anti-penghindaran pajak, mau itu GAAR, maupun tambahan specific anti avoidance rule, itu harus berdasarkan batang tubuh undang-undang untuk memastikan adanya mekanisme checks and balances, tata kelola yang baik, serta perlindungan terhadap hak-hak Wajib Pajak sesuai dengan konstitusi,” jelas Bobby.

Selain itu, ia menekankan proses demokrasi dan partisipasi publik dalam pembuatan muatan ketentuan antipenghindaran pajak akan mendorong terciptanya ketentuan anti penghindaran pajak yang baik.

”Apabila melalui proses itu, kedua belah pihak antara DPR dan pemerintah pasti sudah memikirkan baik dan buruknya. Oke kita berikan GAAR, tapi ini proteksinya, kita kasih benchmarking, tata caranya atau aturan mainnya. Jadi, perlindungan kepada Wajib Pajak tetap diperhatikan,” imbuh Bobby.

Secara simultan, ia menyarankan untuk membuka dialog seluas-luasnya dengan mengundang pendapat dari masyarakat, akademisi, pelaku bisnis, dan praktisi sehingga mendorong meaningful public participation. Hal ini diharapkan akan menghasilkan legislasi antipenghindaran pajak yang efektif, powerful, namun tetap memerhatikan kebutuhan bisnis dan investasi.

Baca Juga  Praktisi Pajak Global: Perubahan Aturan “Transfer Pricing” di Indonesia Beri Kepastian Hukum 

Secara spesifik, ia mengapresiasi upaya pemerintah yang telah mengadopsi setidaknya 12 dari 15 Rencana Aksi yang diusulkan oleh Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) OECD/G20. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki semangat untuk mengikuti perkembangan international best practice global.

”Hal itu kelihatan sekali. Mulai dari perbaikan ketentuan transfer pricing, terkait MAP, ketentuan anti -avoidance terus bertambah aturannya, itu belum tentu kita bisa temukan di negara-negara berkembang lainnya. Makanya saya sangat menghargai betul kerja keras teman-teman pembuat kebijakan dan otoritas pajak,” ujar Bobby.

Pada kesempatan yang sama Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama memastikan upaya pemerintah untuk mengadopsi best practice global dalam rangka mencegah penghindaran pajak.

Ia menyebutkan, Indonesia telah mengimplementasikan 10 Rencana Aksi BEPS, meliputi netralisasi hybrid mismatch arrangement (Rencana Aksi 2), penyusunan ketentuan CFC yang efektif (Rencana Aksi 3), pembatasan pengurangan biaya bunga (Rencana Aksi 4), melawan harmful tax practise (Rencana Aksi 5), status Badan Usaha Tetap (BUT) secara artifisial (Rencana Aksi 7), transfer pricing dan pembentukan nilai (Rencana Aksi 8- 10), struktur 3 tingkat dokumentasi transfer pricing untuk meningkatkan transparansi (Rencana Aksi 13), MAP (Rencana Aksi 14), serta penyusunan suatu instrument multilateral (Rencana Aksi 15).

”Saat ini yang belum diimplementasikan mengenai pengukuran dan pengawasan BEPS (Rencana Aksi 11), mandatory disclosure rules (Rencana Aksi 12), dan pajak digital (Rencana Aksi 1),” ungkap Mekar.

Ia menambahkan, Rencana Aksi 1 dituangkan dalam Pilar I dan masih dalam tahap pembahasan. Sementara Pilar II yang berisi konsensus penetapan pajak minimum global 15 persen, regulasi teknisnya akan segera diterbitkan Pemerintah Indonesia.

“Saat ini, kami sedang dalam proses finalisasi regulasi implementasi untuk pajak minimum global dan proses ratifikasi terkait aturan subjek pajak. Kami sudah melihat implementasi Pilar II sudah diterapkan di 40 negara, dengan beberapa negara Asia, seperti Vietnam, Singapura, Thailand, Malaysia,” sebut Mekar.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *