in ,

Ini Strategi Pemerintah Hadapi Praktik Transfer Pricing

Praktik “Transfer Pricing”
FOTO: IST

Ini Strategi Pemerintah Hadapi Praktik Transfer Pricing

Pajak.com, Jakarta – Fungsional Analis Kebijakan Perpajakan Internasional Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Melani Dewi Astuti memastikan, pemerintah telah memiliki strategi untuk menghadapi praktik transfer pricing yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Kendati lumrah terjadi, namun praktik transfer pricing saat ini berkembang menjadi modus terbaru pelaku usaha untuk melakukan aksi penghindaraan pajak.

Sekilas mengulas, apa itu transfer pricing?

Transfer pricing merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan kebijakan harga dalam suatu transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Namun, transfer pricing kerap kali dianggap sebagai upaya perusahaan multinasional untuk mengurangi beban pajak serta melakukan penggeseran laba. Oleh sebab itu, Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) menegaskan bahwa praktik transfer pricing merupakan bentuk perencanaan pajak yang tidak melanggar ketentuan perpajakan. Di sisi lain, praktik transfer pricing dapat pula dikategorikan sebagai tindak pidana perpajakan.

Baca Juga  Simak Perbedaan Bebas PPN dan Tidak Dipungut PPN, serta Syarat Memanfaatkannya

Melani menegaskan, salah satu upaya pemerintah memerangi praktik transfer pricing telah dituangkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Pasal 18 ayat 3.

Regulasi ini mengatur tiga isu penting terkait transfer pricing, yakni penambahan metode penentuan harga wajar, penerapan benchmarking, dan secondary adjustment.

“Pembaharuan pada Pasal 18 ayat 3 UU PPh (Pajak Penghasilan) juga menentukan harga wajar dapat dilakukan dengan tambahan tiga metode baru, yakni comparable uncontrolled transaction method, tangible asset and intangible asset valuation, dan business valuation. Tujuan penambahan metode ini adalah untuk mengakomodasi penggunaan metode-metode baru selain lima metode yang telah ditetapkan pada peraturan sebelumnya,” jelasnya dalam webinar yang diselenggarakan oleh RSM Indonesia, dikutip Pajak.com (9/8).

Dengan demikian, UU HPP diharapkan dapat menjadi langkah baru optimalisasi pencegahan penghindaran pajak yang praktiknya banyak dilakukan melalui transfer pricing. 

Pada kesempatan yang sama, Partner Tax RSM Indonesia Salil Goyal mengatakan, sejatinya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah memiliki kewenangan memastikan harga transfer sudah sesuai dengan prinsip Arms Length Principle (ALP), yakni prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. 

Apalagi Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) juga telah memiliki peran penting dalam memberikan guidance transfer pricing secara berkala, yaitu dengan menerbitkan panduan yang menjadi aturan main dalam skema penentuan harga transfer. Hal ini bertujuan mencegah terjadinya tax abuse dan mencegah pemajakan berganda.

Baca Juga  DJP: Pengajuan Perpanjangan Waktu Pelaporan SPT Badan Bisa Secara “On-line”

“OECD merilis panduan khusus yang salah satunya menegaskan bahwa data dari transaksi independen contemporaneous uncontrolled transactions dapat menjadi data pembanding yang lebih wajar dan tepat diaplikasikan untuk menentukan harga transfer yang wajar dibandingkan dengan penggunaan three years approach,” jelas Salih.

Bahkan, OECD sejak 2020 telah melakukan dua kali pembaruan Guidelines. Kemudian, OECD telah kembali merilis Transfer Pricing Guidelines pada Januari 2022, yang isinya memperbarui informasi penting yang mencakup penyempurnaan tiga acuan.

“Diantaranya terkait kapan dan dalam kasus seperti apa pembagian laba transaksi menjadi metode yang tepat untuk digunakan, pembaharuan pedoman HTVI (Hard To Value Intangibles), dan penentuan harga transfer atas transaksi keuangan,” ungkap Salih.

Baca Juga  Kanwil DJP Jaktim Kenalkan Proses Bisnis “Core Tax” ke IKPI

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *