Indonesia Sambut Era Baru Perpajakan untuk “Digital Nomad” dan Pekerja Jarak Jauh
Pajak.com, Jakarta – Pada acara The 12th IFA Annual International Tax Seminar 2024, isu menarik tentang perpajakan bagi digital nomad dan pekerja jarak jauh menjadi fokus utama diskusi. Sesi yang mengusung topik “Recent Updates on Taxation of Global Mobility” ini membahas bagaimana pola kerja fleksibel yang semakin marak menghadirkan tantangan baru bagi kebijakan pajak, baik untuk individu maupun perusahaan.
Menurut Manajer Global Public Services KPMG Indonesia Dewi Tamara, fenomena ini menjadi sorotan pascapandemi COVID-19 yang mendorong adopsi teknologi secara masif.
“Dengan perkembangan teknologi, kita bisa bekerja untuk klien di Amerika atau Eropa tanpa harus berada di sana. Namun, pengaturan kerja seperti ini menimbulkan dampak pajak yang signifikan,” ujar Dewi dikutip Pajak.com pada Kamis (12/12).
Visa “Digital Nomad” dan Dampaknya terhadap Status Pajak
Indonesia kini menawarkan visa khusus digital nomad, memungkinkan warga asing tinggal di Indonesia sambil bekerja untuk entitas luar negeri tanpa memerlukan sponsor lokal. Namun, Dewi menekankan bahwa hingga saat ini belum ada regulasi spesifik yang mengatur perpajakan bagi pekerja jarak jauh tersebut. “Kita kembali ke aturan umum, di mana perpajakan di Indonesia bergantung pada status residensi pajak seseorang,” jelasnya.
Sesuai ketentuan, Wajib Pajak dalam negeri didefinisikan sebagai individu yang tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan atau memiliki niat tinggal lebih dari enam bulan. Dengan visa digital nomad yang berlaku hingga satu tahun, warga asing akan dianggap sebagai Wajib Pajak dalam negeri dan dikenakan pajak atas seluruh penghasilannya secara global. Selain itu, mereka juga diwajibkan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang mencakup penghasilan, aset, dan kewajiban di seluruh dunia.
Namun, pekerja jarak jauh yang tinggal di Indonesia kurang dari enam bulan dengan visa singkat dapat dianggap bukan Wajib Pajak dalam negeri. Meskipun demikian, ia menggarisbawahi perlunya pedoman lebih jelas dari otoritas pajak untuk mendukung pengaturan kerja yang semakin fleksibel ini.
“Dalam situasi ini, penghasilan dari luar negeri mereka tidak dikenakan pajak di Indonesia,” tambah Dewi.
Selain itu, Dewi juga menjelaskan tentang kebijakan pembebasan pajak berbasis teritorial bagi pekerja asing dengan keahlian tertentu. Pembebasan ini berlaku selama empat tahun pertama untuk penghasilan pribadi dari luar negeri. Namun, kebijakan ini hanya berlaku bagi pekerja yang dipekerjakan oleh entitas di Indonesia. “Sayangnya, untuk pekerja jarak jauh yang tidak bekerja untuk perusahaan Indonesia, pembebasan ini tidak dapat diterapkan,” jelasnya.
Pandangan dari Thailand: Isu Serupa dalam Mobilitas Global
Dalam sesi tersebut, Tax Partner dari EnDepth Advisory Thailand Auaychai Sukawong, juga membagikan pengalaman negaranya yang menghadapi tantangan serupa. Perubahan pola kerja global memberikan tantangan baru bagi pemerintah Thailand, terutama dalam regulasi perpajakan.
Auaychai menekankan bahwa undang-undang pajak Thailand sudah sangat tua dan belum pernah mengalami perubahan signifikan dalam 18 tahun terakhir. “Kami memiliki dua aturan utama untuk pengumpulan pajak, yaitu source rule (aturan sumber) dan residence rule (aturan residensi),” jelasnya.
Source rule mengatur bahwa siapa pun yang menghasilkan pendapatan di Thailand wajib membayar pajak di negara tersebut. Sementara itu, residence rule mengatur kewajiban pajak berdasarkan status tempat tinggal.
Menurut Auaychai, isu utama dalam source rule adalah bagaimana pekerjaan didefinisikan di era modern.
“Dengan teknologi dan kebijakan kerja dari rumah, Anda dapat bekerja dari mana saja, dari pulau, hotel, atau tempat lain. Masalahnya adalah, apakah itu masih dianggap sebagai memiliki jabatan pekerjaan di Thailand? Jika iya, itu akan dikenakan pajak di Thailand,” jelasnya.
Ia menyoroti bahwa tanpa kejelasan definisi, orang yang bekerja jarak jauh dari Thailand dapat menghadapi risiko dikenakan pajak ganda atau tidak sama sekali. Pemerintah Thailand sedang memikirkan cara terbaik untuk menanggapi perubahan ini.
Bisnis dan Lokasi Pemberi Kerja
Auaychai juga membahas dampak pajak pada bisnis lintas negara. Lokasi pemberi kerja menjadi faktor penting, karena undang-undang pajak Thailand masih menganggap lokasi fisik pemberi kerja sebagai penentu utama.
“Jika Anda memiliki bisnis di Thailand dan mendapatkan penghasilan dari bisnis itu, maka akan dikenakan pajak,” jelasnya.
Selain itu, Auaychai menyoroti tantangan perpajakan untuk aset tidak berwujud, seperti hak cipta. “Jika aset itu dibuat atau didaftarkan di Thailand, tetapi secara fisik tidak berada di sana, ini menjadi pertanyaan besar,” tambahnya. Hal ini penting bagi perusahaan berbasis sumber daya atau yang menggunakan teknologi digital.
Menurut Auaychai, Thailand membutuhkan pendekatan baru dalam regulasi perpajakan agar dapat mengikuti perkembangan pola kerja dan bisnis modern. “Ini adalah contoh bagaimana regulasi perpajakan di Thailand dapat memengaruhi perusahaan asing atau ekspatriat yang ingin bekerja atau berinvestasi di sini,” pungkasnya.
Comments