Menu
in ,

Implementasi Pajak Minimum Global 15 Persen

Implementasi Pajak Minimum Global

FOTO: IST

Pajak.com, Bali – Presiden Asian Development Bank (ADB) Masatsugu Asakawa menilai, konsensus global memberikan ruang bagi negara berkembang untuk melakukan optimalisasi penerimaan melalui Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT). Dengan demikian, implementasi pajak minimum global 15 persen yang tertuang dalam Pilar 2 akan meningkatkan potensi penerimaan pajak bagi negara berkembang.

“Meski pajak minimum global menghadirkan dampak positif terhadap penerimaan, ADB memandang negara berkembang masih perlu menyelesaikan masalah informalitas perekonomian guna meningkatkan penerimaan pajak,” ungkap Asakawa dalam G20 Ministerial Tax Symposium, (14/7).

ADB juga menilai, pajak minimum global juga akan mengurangi dorongan terhadap suatu yurisdiksi untuk memberikan insentif pajak guna menarik investasi. Kembali mengulas, pajak minimum global yang tertuang dalam Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) mengatur korporasi multinasional harus membayar pajak dengan tarif efektif sebesar 15 persen. Tarif ini dikenakan pada perusahaan multinasional yang memiliki peredaran bruto tahunan 750 juta euro atau lebih. Dengan begitu, Pilar 2 akan mengurangi kompetisi pajak antarnegara, melindungi basis pajak, dan mengurangi insentif untuk investor.

“Selama ini negara berkembang memanfaatkan insentif untuk menarik investasi asing. Pilar 2 akan menjadi solusi pemajakan pada perusahaan yang bergerak antarnegara, sehingga memungkinkan terjadinya upaya menghindari pajak,” ujar Asakawa.

Selain itu, ADB juga memandang, negara berkembang perlu mengenakan pajak berbasis lingkungan, seperti pajak karbon guna meningkatkan penerimaan sekaligus mencegah perubahan iklim.

“Negara berkembang juga perlu mengenakan pajak atas rokok, minimum beralkohol, dan makanan yang tidak sehat. Kebijakan ini mengurangi konsumsi yang berdampak buruk terhadap kesehatan,” kata Asakawa.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, solusi dua pilar pajak global akan membawa dampak besar bagi negara-negara berkembang, terutama untuk Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE). Ia menilai, masukan dari negara berkembang penting dipertimbangkan dalam kerangka Inklusif Inclusive Framework on BEPS yang dinisiasi oleh Co-operation and Development (OECD)/G20.

“G20 perlu membantu negara berkembang menyusun insentif pajak yang sesuai dengan ketentuan pajak minimum global pada Pilar 2. Suara mereka harus didengar dan dipertimbangkan. Partisipasi mereka harus sepenuhnya diintegrasikan dalam proses pengambilan keputusan dalam membentuk aturan pajak internasional untuk mengatasi base erosion and profit shifting dan memastikan level playing field,” ungkap Sri Mulyani.

Ia mengakui, pembentukan OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS telah meningkatkan partisipasi negara berkembang dalam merancang dan menerapkan standar pajak global. Partisipasi negara berkembang menjadi penting karena mereka akan merasakan dampak besar ketika mengimplementasikan kesepakatan pajak global.

“G20 harus mulai memikirkan dampak ketentuan mengenai pajak minimum global pada Pilar 2 terhadap negara berkembang. Pasalnya, ketentuan itu bakal mengubah model insentif pajak yang selama ini banyak digunakan negara berkembang untuk menarik investasi. Untuk mengatasi tantangan ini, dibutuhkan koordinasi yang lebih besar di semua tingkat,” ujar Sri Mulyani.

Ia menekankan, arsitektur pajak global harus mampu merespons setiap perubahan dunia yang terjadi begitu cepat. Di sisi lain, sistem pajak global harus bisa memberikan keadilan bagi semua negara untuk meminimalkan risiko sengketa pajak dan penurunan kepastian investasi.

“Pandemi COVID-19 telah meninggalkan lebih banyak luka pada negara berkembang, terutama mengenai ruang fiskalnya. Oleh karena itu, G20 harus membantu negara berkembang untuk membangun sistem pajak yang efektif dengan memperkuat mobilisasi sumber daya domestik,” ujar Sri Mulyani.

Maka dari itu, Presidensi Indonesia mendorong peran G20 untuk mendukung perpajakan dan pembangunan, serta menyoroti pentingnya mobilisasi sumber daya domestik.

“Saya ingin kolaborasi yang lebih besar dan kerja sama yang solid antara negara-negara dan anggota yuridiksi kerangka kerja inklusif OECD BEPS G20 secara berkelanjutan, mendukung pemulihan yang inklusif. Saya berharap Anda semua dapat bermusyawarah dengan sangat sukses dan bermanfaat,” harap Sri Mulyani.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version