Menu
in ,

Fringe Benefit Penyebab PPh Orang Kaya Tak Optimal

Pajak.com, Jakarta – Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengungkap, selama ini penerimaan atas pajak penghasilan (PPh) orang kaya tidak optimal. Dalam lima tahun terakhir, hanya 1,42 persen dari total Wajib Pajak (WP) yang melakukan pembayaran dengan tarif pajak tertinggi 30 persen. Bila dilihat dari penghasilan kena pajak (PKP) yang dilaporkan, cuma 0,03 persen dari jumlah WP yang memiliki penghasilan di atas Rp 5 miliar setahun. Hal itu rupanya disebabkan karena tidak maksimalnya pengaturan fringe benefit (natura) yang sering kali dimanfaatkan untuk tax planning. Dengan demikian, pemerintah mengusulkan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) guna memperbaikinya.

Fringe benefit sering kali menjadi tempat WP orang kaya melakukan tax planning, sehingga tidak dikenai di PPh OP tetapi tidak juga jadi beban di perusahaan. Kita memang terlalu luas memberikan pengecualian, sehingga menjadi tempat berlindung pengusaha. Para top management sering kali mendapat natura yang lebih besar dibanding penghasilan yang dikenai pajak. Tentu tidak adil bagi karyawan, yang atas seluruh penghasilannya merupakan objek pajak. Jadi, ketika perusahaannya rugi, tidak ada isu pajak di sana. Itu yang kita hindari,” jelas Prastowo dalam acara National Tax Summit bertajuk Optimalisasi Kebijakan dan Perluasan Basis Pajak Dalam Rangka Meningkatkan Penerimaan Negara, pada Sabtu (17/7).

Seperti diketahui, saat ini populasi WP OP di Indonesia memiliki empat lapisan, yaitu WP OP berpendapatan 0 sampai Rp 50 juta sebanyak 84 persen (kontribusi tax expenditure dari fringe benefit 9,7 persen) ; berpenghasilan Rp 50 hingga 250 juta sebanyak 12,10 persen (12 persen) ; berpendapatan Rp 250 hingga 500 juta sebanyak 2,3 persen (19 persen); berpenghasilan Rp 500 juta sampai 5 miliar sebesar 1,64 persen (51 persen).

“Lebih dari 50 persen tax expenditure PPh OP dari natura dimanfaatkan oleh WP OP berpenghasilan tinggi atau yang menggunakan lapisan tarif pajak tertinggi yaitu Rp 500 juta sampai Rp 5 miliar. Ini yang coba kita dekati ada di mana masalahnya. Diskusi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) mengundang para ahli untuk bersama memberi masukan agar kita punya struktur pemajakan yang baik seperti apa,” kata Prastowo.

Di kesempatan yang sama, Kepala Subdirektorat Penyuluhan Perpajakan Inge Diana Rismawati menambahkan, maka pemerintah perlu mengatur kembali fringe benefit karena selama ini hanya dinikmati oleh pemberi kerja atau yang berada di level direktur, manajer, dan komisaris.

“Harusnya mereka itu penghasilannya sudah tinggi, mengapa diberikan pembagian natura. Hal ini menimbulkan ketidakadilan horizontal penghasilan untuk pegawai yang biasanya berupa gaji atau upah dikenai PPh,” kata Inge.

Pengaturan fringe benefit saat ini terdapat dalam UU PPh Pasal 4 Ayat 3, Pasal 6 Ayat 1, dan Pasal 9 Ayat 1. Secara umum Inge menjelaskan, pada prinsipnya dalam aturan itu, fringe benefit bukan biaya bagi pemberi kerja dan bukan penghasilan bagi pegawai penerima fringe benefit. Kemudian, dalam RUU KUP diusulkan agar fringe benefit dapat dibiayakan sepanjang dengan kegiatan 3 M (mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan) bagi pemberi kerja dan merupakan penghasilan bagi pegawai.

Selain itu, alasan pemerintah mengusulkan reformasi kebijakan PPh adalah karena jumlah tax bracket Indonesia lebih sedikit, yakni hanya empat lapis, dibandingkan negara lain. Inge menyebut, Vietnam 7 bracket, Thailand 8, Filipina 7, Malaysia 11. Dengan begitu, dalam RUU KUP, pemerintah mengusulkan untuk menambah satu lapisan, yaitu WP OP berpenghasilan di atas Rp 5 miliar dikenakan tarif PPh 35 persen.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version