in ,

Fasilitas Kesehatan dan Pengobatan Pegawai Bukan Objek Pajak

Fasilitas Kesehatan dan Pengobatan Pegawai
FOTO: MK

Fasilitas Kesehatan dan Pengobatan Pegawai Bukan Objek Pajak

Pajak.com, Jakarta – Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Menteri Keuangan (Menkeu) Iwan Djuniardi menegaskan, sebagai wujud keberpihakan negara terhadap pegawai yang berpenghasilan menengah ke bawah, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah mengatur natura dan/atau kenikmatan dengan jenis atau batasan tertentu dikecualikan dari penghasilan yang dikenakan pajak. Ia memastikan, fasilitas kesehatan dan pengobatan pegawai bukan objek pajak.

Hal tersebut Iwan tegaskan dalam sidang lanjutan Pengujian UU HPP, di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun permohonan Pengujian UU HPP yang teregistrasi dengan Nomor 67/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Pemohon yang bernama Leonardo Siahaan (karyawan swasta). Leo mendalilkan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU HPP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Iwan menyebutkan, aturan pajak dan/atau natura diperinci dan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Kemudian, dikonkretkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penggantian atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan Atau Jasa yang Diterima atau Diperoleh dalam Bentuk Natura dan/Atau Kenikmatan.

Baca Juga  Bagaimana Pajak Dapat Mendukung Pembiayaan SDGs?

“Pada aturan tersebut mengatur tentang imbalan dalam bentuk kenikmatan berupa fasilitas kesehatan dan pengobatan dalam penanganan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kedaruratan, dan pengobatan lanjutannya tanpa ada batasan nilai, dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan (PPh) atau tidak dikenakan PPh. Dengan demikian, imbalan dalam bentuk kenikmatan berupa pelayanan kesehatan dan pengobatan yang diberikan pemberi kerja kepada pegawai bukanlah objek pajak, sepanjang memenuhi kriteria jenis yang diatur dalam PMK Nomor 66 Tahun 2023 tersebut. Sehingga, dalil Pemohon telah terakomodasi dalam PMK tersebut,” jelasnya dalam keterangan tertulis, dikutip Pajak.com, (19/9)

Iwan menekankan, berlakunya UU HPP telah memenuhi jaminan dan kepastian hukum bagi pemberi kerja dan pegawai. Penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk fasilitas kesehatan dan pengobatan oleh pemberi kerja dikecualikan dari penggunaan PPh.

“Hal ini justru memberikan keadilan bagi pegawai dan pemberi kerja. Terhadap dalil Pemohon, pemerintah menyimpulkan beberapa hal, di antaranya UU HPP dan peraturan pelaksananya telah mengatur ketentuan mengenai tidak semua penghasilan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diterima oleh pegawai tidak dijadikan objek pajak, terdapat pengecualian dari kriteria jenis dan batasan tertentu,” jelas Iwan.

Baca Juga  Daftar Surat dari DJP yang dapat Diajukan Permohonan Pembetulan

Kemudian, UU HPP dan peraturan pelaksanaannya ditujukan untuk mendorong pemberi kerja meningkatkan kesejahteraan pegawai dengan pemberian layanan kesehatan.

“Karena dengan UU HPP, biaya yang dikeluarkan untuk penyediaan layanan kesehatan dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan yang dikenakan PPh. Sementara, terhadap permohonan Pemohon yang menghendaki imbalan dalam bentuk pelayanan kesehatan dan pengobatan tidak termasuk dalam kategori natura. Pemerintah berpendapat, hal demikian kurang tepat. Karena apabila permohonan dikabulkan, akan menimbulkan dampak negatif, yakni imbalan dalam bentuk pelayanan kesehatan merupakan penghasilan yang harus dibayar PPh-nya oleh pegawai yang menerima,” urai Iwan.

Menurutnya, hal tersebut justru tidak mendorong pemberi kerja untuk meningkatkan kesejahteraan pegawainya dengan memberikan fasilitas kesehatan dan pengobatan yang memadai.

“Maka, ketentuan pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945, sehingga dalil Pemohon tidak berdasar,” tegas Iwan.

Pada kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta agar presiden/pemerintah menambahkan keterangan berupa naskah akademik dan risalah sidang pembahasan UU HPP. Selain itu, diharapkan pula menyertakan beberapa produk peraturan perundang-undangan berupa PMK dan surat edaran yang disebutkan dalam keterangan pada persidangan ini.

Baca Juga  Laman SSE Ditutup, Bagaimana Cara Buat Kode “Billing” Pajak?

“Sertakan semua dalam satu paket, sehingga kami mendapatkan penjelasan yang jelas atas dalil Pasal 4 ayat (1) UU HPP memang sebagaimana keterangan yang disampaikan pemerintah,” kata Enny.

Hal senada juga diungkapkan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Ia juga meminta agar presiden/pemerintah menyertakan ilustrasi dalam penghitungan pajak yang ada pengecualian, sebagaimana disampaikan pada keterangan sidang.

“Kemudian kami juga melihat bahwa UU ini terbit pada 2021 pada waktu APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2022 yang terkait dengan perpajakan. Kira-kira berapa persentase nilai dari APBN 2022-nya dalam kaitan norma yang dimohonkan Pemohon,” pungkas Daniel.

Baca juga:

https://www.pajak.com/pajak/mk-gelar-sidang-pengujian-aturan-pajak-natura/.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *