Menu
in ,

DJP Harus Perkuat Sinergi dengan Otoritas Pajak Global

DJP Harus Perkuat Sinergi

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Senior Advisor TaxPrime sekaligus Dirjen Pajak periode 2000—2001 Machfud Sidik menuturkan, Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus memperkuat kerja sama dengan otoritas pajak global, khususnya otoritas pajak dari negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Hal itu bertujuan salah satunya untuk mengoptimalkan potensi penerimaan pajak dari transaksi ekonomi digital yang tengah bertumbuh pesat. TaxPrime memperoyeksi, Indonesia mampu mencapai pertumbuhan ekonomi sekitar 5,2 persen dan rasio pajak pada kisaran 12,6 persen di tahun 2026 mendatang.

“Indonesia dalam mengamati kecenderungan global di bidang perpajakan dan ekonomi, harus melakukan kerja sama dengan otoritas negara lain, khususnya negara OECD. Salah satunya transaksi digital ekonomi. Apalagi digital service tax sedang dibahas oleh negara OECD, dimana Indonesia masuk di dalamnya,” kata Machfud dalam paparan virtual bertajuk Ooutlook Perekonomian Indonesia Tahun 2022—2026, Pajak.com kutip (10/4).

Ia menilai, Kemenkeu telah memiliki strategi dan roadmap yang bagus dalam menyesuaikan perkembangan ekonomi digital. Pelbagai ketentuan sudah dilakukan, sehingga transaksi yang bersifat digital sudah masuk dalam sektor penerimaan perpajakan. Salah satu kebijakan, misalnya DJP telah menunjuk 94 pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) untuk memungut dan menyetor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar negeri yang dijualnya kepada konsumen di dalam negeri. Penerimaan pajak dari sektor ini tercatat sebesar Rp 4.634,7 miliar, terdiri dari Rp 731,4 miliar tahun 2020 dan sebesar Rp 3.903,3 miliar di tahun 2021.

Kemudian, DJP juga telah menjalin kerja sama dengan otoritas pajak global untuk menangkal penghindaran pajak, transfer pricing, dan pertukaran data keuangan terkait perpajakan secara otomatis. Machfud menilai, upaya kerja sama internasional harus terus dilakukan, walaupun Indonesia masih mengalami masalah seperti negara lain, yaitu COVID-19 atau kenaikan harga komoditas. Peluang-peluang untuk sektor perpajakan masih terbuka.

“Ketentuan perpajakan harus menyesuaikan ketentuan-ketentuan di sana sini, sehingga dapat menggali penerimaan. Salah satunya, konsep yang kita kenal permanent establishment dengan significant economic present. Di masa lalu, investor asing, pelaku bisnis asing, perusahaan multinasional, enterprise itu bisa dikenakan pajak, kalau dia nyata-nyata sudah ada cabang, kantor, gudang, dan sebagainya di Indonesia. Kalau ini tidak diubah, maka transaksi-transaksi digital tadi tidak bisa digali pajaknya. Sehingga (saat ini) Indonesia sudah mengikuti berbagai negara dalam menerapkan significant economic present—tidak perlu adanya kantor di Indonesia, tapi yang perlu diketahui adanya transaksi yang nyata antara penduduk atau pelaku bisnis Indonesia dengan seller di luar negeri, mereka melalui sistem perpajakan, mereka bisa dikenakan digital service tax,” jelas Machfud.

Ia menekankan, optimalisasi penerimaan pajak dari sektor potensial dapat mendorong terciptanya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berkelanjutan. Di sisi lain, APBN harus berbasis belanja yang berkualitas, seperti membangun infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang lebih bagus; serta mendukung reformasi perpajakan untuk meningkatkan penerimaan negara.

“Reformasi struktural diperlukan, strategi yang lebih komprehensif, pelbagai upaya-upaya yang kondusif bagi investor melalui undang-undang persaingan, kemudahan akses keuangan khususnya kepada UMKM, privatisasi, undang ketenagakerjaan yang saat ini sudah dituangkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja, sistem peradilan, kelembagaan yang lebih ramping, pemberantasan korupsi, beban pajak yang tidak distorsif. Itu merupakan tugas pemerintah yang harus didukung oleh pemerintah, termasuk pengamat, konsultan pajak, dan sebagainya,” jelas Machfud.

Secara khusus, reformasi perpajakan perlu terus dilakukan, mengingat rasio pajak Indonesia masih cenderung stagnan. TaxPrime mencatat, rasio pajak termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada tahun 2000 ada dikisaran 13,4 persen, stagnan sampai dengan tahun 2019 pada kisaran 14,1 persen.

“Tahun 2026, kami memprediksi (rasio pajak) masih mengalami sedikit stagnan, walaupun sudah ada pelbagai ketentuan dan reformasi dibidang peraturan, yaitu 12,6 persen. Ini tantangan yang berat bagi Indonesia, baik untuk pajak (DJP) maupun pelaku bisnis yang harus ikut mendukung program pemerintah, utamanya dalam rangka memenuhi kepatuhan perpajakan,” ungkap Anggota Tim Prakarsa Kebijakan Perpajakan yang dibentuk menteri keuangan tahun 2007 ini.

TaxPrime memproyeksi pula pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2026 mencapai kisaran 5,2 persen. Dibandingkan dengan negara kawasan, seperti Singapura, Indonesia berpotensi mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

“Tahun 2000, kita lihat pertumbuhan ekonomi Indonesia dikisaran 5 persen, setelah mengalami recovery dari krisis 1998. Kemudian, berlanjut stabil sampai dengan 2019, tentunya pertumbuhan ekonomi Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan negara dengan superpower ekonomi baru, misalnya Tiongkok. Dengan adanya COVID-19, Indonesia mengalami pertumbuhan negatif 2,1 persen. Di tahun 2021, Indonesia recovery, pertumbuhan ekonomi mulai 3,2 persen. Kami memperkirakan, berdasarkan analisis, pelbagai sumber lembaga-lembaga internasional, maka Indonesia pada tahun 2026 akan tumbuh pada kisaran 5,2 persen,” urai Machfud.

Ada beberapa indikator yang melahirkan optimisme pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen itu. Pertama, Indonesia dianugerahi kekuatan ekonomi dari sumber daya alam, jumlah penduduk, dan stabilitas politik.

Kedua, investasi yang terus meningkat. TaxPrime mencatat, pada tahun 1995 foreign direct investment (FDI) Indonesia pada kisaran 4,2 miliar dollar AS, mengalami pertumbuhan mencapai 20,5 miliar dollar AS di tahun 2010, kemudian meningkat lagi menjadi 20,36 miliar dollar AS di tahun 2014. Dibandingkan dengan Thailand, kinerja investasi pada periode itu masih sebesar 3,7 miliar dollar AS. Namun, bila dibandingkan dengan Singapura, Indonesia masih jauh lebih rendah, mengingat Kota Singa ini memiliki fasilitas-fasilitas ekonomi yang kuat, misalnya dalam sektor keuangan.

“Tapi kita (Indonesia) beruntung bisa mempertahankan stabilitas ekonomi, infrastruktur yang lebih baik, sumber daya manusia yang lebih berkualitas,” tambah Machfud.

Ketiga, tingkat inflasi Indonesia yang stabil. Dalam catatan TaxPrime, tahun 2000—2019 inflasi Indonesia stabil pada kisaran 3,7 persen. Fluktuasi sempat terjadi karena adanya krisis keuangan tahun 2009, inflasi menjadi 13,1 persen. Tahun 2020, karena ada keterpurukan ekonomi akibat COVID-19, tingkat inflasi menurun menjadi 2 persen, lalu menjadi 1,6 persen ditahun 2021.

“Di tahun 2026, kami perkirakan, inflasi dikisaran 3 persen. Tingkat ekonomi ini kondusif terhadap tingkat perekonomian dan pelaku bisnis,” ujar Machfud.

Keempat, tingkat pengangguran yang semakin menurun. Tahun 2000, Indonesia memiliki tingkat pengangguran 6,1 persen dari angkatan kerja, kemudian sempat melonjak lebih dari 11 persen di tahun 2006, namun menurun menjadi kurang dari 6 persen di tahun 2020.

“Ini akan berlanjut sampai 2026, TaxPrime memperkirakan sekitar 5,2 persen (tingkat pengangguran). Tapi tentunya Indonesia harus (mencontoh) tingkat pengangguran seperti Singapura, yakni hanya dikisaran 2,2 persen,” kata Machfud.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version