Boom Transaksi Antara Perusahaan Afiliasi Tembus Rp10 Ribu Triliun, Momentum Emas Perkuat Dokumentasi “Transfer Pricing”
Pajak.com, Jakarta – Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat lonjakan volume transaksi antara perusahaan berafiliasi atau intercompany sekitar 60 persen dalam setahun terakhir. Peningkatan signifikan ini menjadi sinyal kuat bagi DJP untuk memperketat pengawasan terhadap praktik transfer pricing. Berdasarkan data DJP, nilai transaksi antarperusahaan afiliasi meningkat tajam dari Rp6.248 triliun pada 2021 menjadi Rp10.360 triliun pada 2022.
Peningkatan signifikan ini membawa konsekuensi serius bagi dunia perpajakan Indonesia. DJP mengungkapkan bahwa intensitas pemeriksaan pajak yang berfokus pada pengujian transfer pricing semakin menguat dengan nilai koreksi mencapai lebih dari Rp6 triliun. Tidak hanya itu, frekuensi permintaan data pembanding oleh pemeriksa pajak juga mengalami peningkatan dramatis dari 187 permintaan pada 2022 menjadi 450 permintaan pada 2023.
Senior Manager Transfer Pricing GNV Consulting Gomi Johannsen Kevan, memandang fenomena ini sebagai momentum emas bagi Wajib Pajak untuk memperkuat dokumentasi transfer pricing mereka. Menurutnya, lonjakan nilai transaksi tidak serta-merta meningkatkan risiko, melainkan menjadi peluang untuk memperkuat posisi melalui dokumentasi yang lebih tajam, dengan pendekatan yang tepat dan komprehensif, serta melibatkan konsultan pajak jika diperlukan.
“Peningkatan signifikan nilai transaksi antarperusahaan hampir dua kali lipat dalam satu tahun tentu menjadi sinyal kuat bagi otoritas pajak [DJP] untuk lebih memperketat pengawasan terhadap TP [transfer pricing],” ungkap sarjana akuntansi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya ini, kepada Pajak.com pada (13/6/25).
Menurutnya, dari sudut pandang DJP, angka sebesar itu mencerminkan eksposur yang semakin besar terhadap potensi pengalihan laba, terutama bila transaksi dilakukan lintas yurisdiksi atau melibatkan entitas yang memiliki insentif pajak berbeda.
Faktor Pendorong Meningkatnya Perhatian terhadap Transfer Pricing
Gomi menjelaskan bahwa meningkatnya perhatian terhadap isu transfer pricing wajar terjadi dari sudut pandang DJP. Salah satu penyebab utamanya adalah semakin banyaknya perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia, serta perusahaan lokal yang kini memiliki jaringan usaha lintas sektor atau bahkan lintas negara.
“Perkembangan ini tentu menyebabkan peningkatan transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa. Jadi, dalam konteks ini, isu transfer pricing muncul untuk memastikan hak pemajakan yang adil yang seperti kita ketahui juga sudah menjadi isu yang bersifat nasional,” jelasnya.
Menurut Gomi, dengan regulasi yang ada sekarang, pemeriksaan transfer pricing kini jauh lebih terarah dan berbasis. Dari sisi DJP, ini bukan hanya soal penegakan aturan, tapi juga tentang menjaga keadilan fiskal di tengah struktur bisnis yang makin kompleks.
Gomi menekankan pentingnya peran konsultan dalam ekosistem transfer pricing. “Kami berusaha menjadi jembatan antara kepentingan bisnis klien dan tuntutan kepatuhan yang ditetapkan regulator,” ujarnya.
Pendekatan ini menurutnya penting agar posisi klien tetap defensible saat diperiksa, sekaligus mendukung hubungan yang sehat dan transparan dengan DJP. Konsultan tidak hanya membantu klien menyusun posisi transfer pricing yang kuat secara komersial dan mencerminkan kondisi nyata bisnis mereka, tapi juga memastikan bahwa pendekatan yang digunakan tetap berada dalam koridor ketentuan yang berlaku.
Dalam kesempatan itu, Gomi menjelaskan bahwa pada praktiknya, tantangan terbesar yang dihadapi baik pemeriksa pajak maupun Wajib Pajak adalah sama. Pengujian atas Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) harus melewati langkah yang kompleks, sehingga tantangannya adalah pemahaman mendalam tentang seluk beluk transfer pricing yang sangat kompleks ini.
“Tantangan bagi pemeriksa adalah menerapkan koreksi yang konsisten apalagi kita bukan negara yang menerapkan common law, namun dari sisi Wajib Pajak hal ini sangat penting karena dengan adanya konsistensi maka dapat diartikan adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajak,” papar Gomi.
Selain itu, tantangan juga terletak pada bagaimana memahami transaksi dari perspektif bisnis. Data pembanding merupakan jantung utama pengujian PKKU dalam transfer pricing, sehingga permintaan benchmarking study atau data pembanding terus meningkat seiring dengan peningkatan transaksi intercompany.
Kesalahan Umum dalam Dokumentasi
Berdasarkan pengalaman lapangan, Gomi mengidentifikasi beberapa kesalahan umum yang dilakukan perusahaan dalam dokumentasi transfer pricing. Salah satu yang paling sering terjadi adalah ketika Wajib Pajak belum mempersiapkan secara komprehensif dokumen pendukung terkait, walaupun sesungguhnya terdapat dasar komersial yang jelas.
“Setiap transaksi tersebut perlu dianalisis dan dibuktikan kewajarannya dengan dasar substansi dan dokumentasi yang jelas, yang bisa mendukungnya,” jelasnya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah keberadaan dokumentasi perjanjian tertulis yang memadai untuk mendokumentasikan transaksi antarentitas afiliasi. Keberadaan perjanjian menjadi krusial terutama setelah diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172 Tahun 2023 Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa (PMK 172/2023), yang secara tersirat menekankan pentingnya tahapan pendahuluan dalam transaksi afiliasi.
Strategi Preventif Menghadapi Pemeriksaan
Menghadapi meningkatnya nilai koreksi pemeriksaan pajak terkait transfer pricing hingga lebih dari Rp6 triliun, Gomi merekomendasikan langkah preventif strategis. Untuk menghindari potensi koreksi yang tidak perlu, langkah paling strategis adalah membangun posisi transfer pricing yang kuat secara substansi dan dokumentasi, sebagaimana diamanatkan dalam PMK 172/2023.
Wajib Pajak perlu menyusun dokumentasi transfer pricing yang lengkap, akurat, dan tepat waktu, termasuk penggunaan benchmarking study yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, penting untuk memastikan adanya perjanjian yang mendasari (underlying agreement) untuk setiap transaksi afiliasi.
“Perjanjian ini penting untuk memberikan gambaran yang komprehensif terkait alasan komersial, ruang lingkup, dan ketentuan transaksi, sehingga otoritas pajak dapat memahami dasar logis dari pelaksanaan transaksi tersebut,” tegas Gomi.
Analisis fungsional yang menggambarkan kondisi bisnis dan kontribusi masing-masing entitas yang terlibat dalam transaksi juga menjadi kunci. Analisis ini sangat penting untuk menilai apakah remunerasi yang diterima oleh tiap pihak sudah mencerminkan fungsi yang dijalankan, aset yang digunakan, dan risiko yang ditanggung.
Kebijakan “Safe Harbour” dalam Praktik “Transfer Pricing”
Lebih lanjut, terkait penerapan kebijakan safe harbor dalam praktik transfer pricing, Gomi berpandangan bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan pengembangan kebijakan tersebut secara selektif. Safe harbor merupakan kebijakan yang menetapkan batasan atau pendekatan yang disederhanakan bagi Wajib Pajak dalam menentukan kewajaran transaksi afiliasi, biasanya dalam bentuk margin tetap, threshold nilai transaksi, atau pengecualian dokumentasi untuk jenis transaksi tertentu.
Hingga saat ini, Indonesia belum secara eksplisit menerapkan kebijakan safe harbor yang formal dalam peraturan transfer pricing, termasuk dalam PMK 172/2023. Meski demikian, pendekatan berbasis analisis materialitas, risiko transaksi, dan tahapan pendahuluan yang diatur dalam PMK 172/2023 sudah menunjukkan arah bahwa pembedaan perlakuan atas transaksi berisiko rendah dan tinggi mulai dipertimbangkan secara implisit.
“Pengembangan kebijakan safe harbor tetap perlu dipertimbangkan secara selektif dengan mempertimbangkan praktik internasional dan pengalaman negara lain seperti Singapura. Safe harbor yang dirancang dengan hati-hati bisa menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kepatuhan sukarela, mengurangi beban administrasi, dan mendukung efisiensi sistem transfer pricing Indonesia secara keseluruhan,” jelasnya.
Melihat ke depan, Gomi juga memberikan pandangannya mengenai masa depan peraturan transfer pricing di Indonesia, terutama terkait transaksi digital dan aset tidak berwujud. Menurutnya, hal yang paling relevan untuk kedua transaksi ini adalah penerapan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Pilar I, dimana hal ini sudah menjadi bahan diskusi yang cukup lama antara negara G-20.
“Saya berharap bahwa regulasi ke depan, baik dalam bentuk peraturan teknis maupun panduan administratif, dapat memberikan kerangka yang lebih eksplisit untuk menangani isu-isu seperti ini. Hal ini penting untuk menjaga kepastian hukum bagi Wajib Pajak, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam pengawasan lintas yurisdiksi yang adil dan berbasis substansi,” ungkapnya.
Gomi Johannsen Kevan
Gomi memiliki perjalanan karier yang menarik di bidang perpajakan. Awalnya, saat kuliah baru mengetahui adanya kesempatan untuk memilih peminatan. Setelah melihat peluang karier dan cerita dari senior-senior yang sudah lulus, ia mulai tertarik pada perpajakan. Di semester 6, ia memutuskan memilih perpajakan sebagai jurusan karena melihat jika menjadi auditor monoton dan perpajakan pada waktu itu terlihat lebih dinamis.
Selain fokus pada dunia perpajakan, Gomi juga memiliki hobi yang cukup unik. Ia gemar berolahraga karena itu satu-satunya aktivitas yang benar-benar bisa membuatnya lepas sejenak dari urusan pekerjaan.
Selain berolahraga, ia juga memiliki hobi menulis tentang olahraga, khususnya kolom seputar olahraga seperti post-match review dan analisis pertandingan. Aktivitas ini menjadi caranya untuk keluar sejenak dari pressure pekerjaan.
Comments