in ,

Jumlah Sengketa “Transfer Pricing” Turun Drastis, GNV Consulting Soroti Sinyal Positif Kepatuhan Wajib Pajak Indonesia

FOTO : IST

Jumlah Sengketa “Transfer Pricing” Turun Drastis, GNV Consulting Soroti Sinyal Positif Kepatuhan Wajib Pajak Indonesia

Pajak.com, Jakarta – Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat penurunan sebesar 40 persen dalam jumlah sengketa transfer pricing dari 310 kasus pada 2020 menjadi 186 kasus pada 2023. Tren ini mengindikasikan perbaikan signifikan dalam kepatuhan Wajib Pajak terhadap ketentuan transfer pricing di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan peningkatan kesadaran patuh pajak, tetapi juga hasil dari kombinasi perbaikan regulasi dan pemahaman bersama antara DJP dengan dunia usaha atau Wajib Pajak.

Senior Manager Transfer Pricing GNV Consulting Services Gomi Johannsen Kevan, menekankan bahwa penurunan sengketa tersebut merupakan indikator yang menggembirakan. Pria yang telah meniti karier di bidang perpajakan selama 11 tahun ini memulai perjalanan profesionalnya di bidang corporate tax sebelum akhirnya memfokuskan diri pada transfer pricing sejak bergabung dengan GNV Consulting enam tahun lalu.

“Penurunan jumlah sengketa transfer pricing tentu menjadi indikator yang positif, namun saya melihat bahwa hal ini tidak hanya mencerminkan peningkatan kepatuhan semata, melainkan juga merupakan hasil dari kombinasi beberapa faktor penting,” ungkap Gomi dalam wawancara dengan Pajak.com pada (12/6/25).

Menurut analisisnya, terdapat tiga faktor utama yang berkontribusi pada penurunan sengketa. Pertama, perkembangan regulasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah memberikan kejelasan dan kerangka kerja yang lebih komprehensif bagi Wajib Pajak. Contohnya melalui pembaruan peraturan serta fasilitas seperti Advance Pricing Agreement (APA) yang mulai dimanfaatkan lebih luas untuk memperoleh kepastian hukum.

Kedua, peningkatan kualitas dokumentasi dan justifikasi transaksi yang disampaikan Wajib Pajak. Hal ini membantu mengurangi potensi perbedaan penafsiran saat pemeriksaan berlangsung karena posisi Wajib Pajak menjadi lebih dapat dipertahankan.

Kemudian yang ketiga, adanya peningkatan pemahaman bersama antara DJP dan Wajib Pajak atas jenis-jenis transaksi tertentu. Jika sebelumnya terdapat gap interpretasi terhadap transaksi seperti jasa intra-grup atau penggunaan intangible assets, saat ini banyak di antaranya yang sudah lebih dipahami karakteristiknya dan dapat dinilai kewajarannya secara objektif.

Baca Juga  Main Padel Kena Pajak? Simak Penjelasan DJP

Regulasi “Transfer Pricing” Semakin Komprehensif

Dalam konteks regulasi, Gomi menjelaskan bahwa transfer pricing di Indonesia diatur mulai dari Pasal 18 ayat 3 Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh), kemudian dijabarkan lebih lanjut melalui PER-43/PJ/2010 jo. PER-32/PJ/2011, serta PER-22/PJ/2013 dan SE-50/PJ/2013 yang menjadi pedoman teknis bagi pemeriksa dalam melakukan pengujian kewajaran atas transaksi afiliasi.

“Saat ini, perhatian utama dalam praktik transfer pricing tertuju pada PMK 172/2023 [Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172 Tahun 2023 Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa], yang menggantikan PMK 213/2016 [tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaannya]. PMK [172/2023] ini mengatur ulang kewajiban dokumentasi transfer pricing dengan pendekatan yang lebih substansial, sehingga diperkirakan akan menjadi kerangka utama dalam pengelolaan transfer pricing di Indonesia ke depan,” terang sarjana akuntansi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya ini.

Gomi juga menyoroti pentingnya PMK 15/2025 yang mengatur tentang pemeriksaan pajak dimana pemeriksa diwajibkan melakukan pembahasan temuan sementara. Menurutnya, proses pemeriksaan akan berjalan lebih lancar karena baik Wajib Pajak maupun DJP diberi ruang untuk berdiskusi dan melengkapi dokumen-dokumen terkait dengan temuan yang ada.

Merespons tantangan erosi basis pajak melalui transfer pricing, ia menilai DJP telah mengambil langkah strategis melalui penerbitan PMK 172/2023. Peraturan ini membawa pendekatan yang lebih substansial dalam pengujian transfer pricing. Untuk peraturan non-transfer pricing, terlihat juga adanya PMK 136/2024 sehubungan dengan Global Minimum Tax yang menganut Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Pilar II dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).

Baca Juga  PER-6/2025 Tambah Kriteria PKP Berisiko Rendah yang Dapat Ajukan Percepatan Restitusi Pajak

“Secara keseluruhan, strategi DJP kini diarahkan untuk memastikan bahwa praktik transfer pricing tidak digunakan sebagai sarana penghindaran pajak yang terselubung. Hal ini menandai pergeseran kebijakan dari pendekatan yang hanya compliance-based menuju pendekatan yang lebih analitis dan berbasis, dan sejalan dengan praktik internasional yang berkembang,” jelas pria yang memiliki hobi olahraga dan menulis analisis pertandingan olahraga ini.

Dalam kesempatan itu, Gomi juga berpandangan bahwa digitalisasi ekonomi turut menambah kompleksitas isu transfer pricing. Ia mengidentifikasi bahwa digital economy identik dengan e-commerce platforms seperti Tokopedia dan Shopee, streaming and content services seperti Spotify dan Netflix, online advertising and search engines seperti Google Ads, serta cloud computing and data analytics.

Contoh yang relevan di Indonesia adalah perusahaan seperti Tokopedia, Gojek, dan Grab yang tentu menambah kompleksitas isu transfer pricing. “Regulasi yang ada bahkan OECD, meskipun terus berkembang, belum sepenuhnya catch-up dengan kompleksitas digital economy. Dengan belum adanya dasar peraturan yang kuat, untuk menjawab pertanyaan ini menurut saya ke depannya masih akan dapat terjadi perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak,” ungkapnya.

Mengenai dampak BEPS action plan dari OECD terhadap praktik transfer pricing di Indonesia, Gomi menyatakan bahwa BEPS sudah cukup jelas diterapkan di Indonesia terutama dengan dikeluarkannya PMK 213/2016 mengikuti finalisasi BEPS 15 action plan di Oktober 2015, yang kemudian diperbarui dengan PMK 172/2023. Dapat dilihat juga adanya penurunan nilai koreksi transfer pricing di tahun 2020-2023, yang menunjukkan efektivitas penerapan prinsip-prinsip BEPS di Indonesia.

Lebih lanjut, Gomi menjelaskan bahwa dalam mengidentifikasi risiko transfer pricing, ia melihat bahwa pola umum yang memiliki risiko lebih tinggi cenderung pada jenis transaksi dibandingkan dengan sektor industri tertentu, mengingat semakin berkembangnya kompleksitas model bisnis saat ini. Beberapa jenis transaksi yang berisiko tinggi antara lain transaksi atas intangible assets, jasa intra-grup, dan pembiayaan intra-grup (intercompany financing).

Baca Juga  Kurs Pajak 2 – 8 Juli 2025

Namun perlu ditekankan, risiko transfer pricing tinggi tidak otomatis berarti ada pelanggaran. Justru, transaksi dengan profil risiko tinggi inilah yang perlu didokumentasikan dan dianalisis dengan standardisasi yang lebih tinggi, baik oleh Wajib Pajak maupun DJP.

Metode “Transfer Pricing” yang Umum Digunakan

Menurut Gomi, metode transfer pricing yang paling umum digunakan di Indonesia saat ini meliputi metode perbandingan harga antarpihak yang independen/Comparable Uncontrolled Price (CUP) Method dan metode perbandingan transaksi independen/Comparable uncontrolled transaction (CUT) method, Resale Price Method (RPM), Cost Plus Method, Transactional Net Margin Method (TNMM), dan Profit Split Method (PSM).

TNMM merupakan metode yang paling banyak digunakan di Indonesia karena lebih fleksibel dan sering kali lebih mudah diterapkan, terutama ketika data pembanding untuk metode tradisional sulit ditemukan. Sementara PSM jarang digunakan karena membutuhkan data dan analisis yang sangat mendalam dan seringkali analisis PSM menghasilkan analisis yang sifatnya sangat subjektif, terutama penerapan contributional PSM.

Tantangan dalam penerapannya adalah menyamakan perspektif Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) yang dilakukan antara penerapan oleh Wajib Pajak dan pengertian yang dimiliki oleh DJP.

Gomi optimistis bahwa penurunan sengketa transfer pricing menandakan sistem perpajakan Indonesia bergerak ke arah yang lebih selaras dimana regulasi terus berkembang, kesadaran kepatuhan meningkat, dan pemahaman bersama antarpihak menjadi fondasi yang saling memperkuat.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *