in ,

Begini Perbedaan BPHTB dan PPhTB

Begini Perbedaan BPHTB dan PPhTB
FOTO: IST

Begini Perbedaan BPHTB dan PPhTB

Pajak.comJakarta – Dalam proses pembelian tanah atau rumah, calon pembeli dan penjual mesti memiliki pengetahuan yang cukup terhadap hak dan kewajibannya. Dengan memahami dan melaksanakan kewajiban secara benar, maka kedua pihak ini dapat terhindarkan dari masalah hukum di kemudian hari. Nah, dalam transaksi pembelian tanah, rumah, maupun bangunan terdapat dua kewajiban pajak yang harus dibayarkan yaitu Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan atas pengalihan tanah dan/atau bangunan (PPhTB). Lantas, apa saja perbedaan dari BPHTB dan PPhTB ini? Berikut Pajak.com uraikan untuk Anda.

Definisi

BPHTB merupakan pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang ditanggung oleh pembeli. Sebelumnya, BPHTB merupakan pajak pusat, tetapi kemudian dialihkan menjadi pajak daerah sejak tanggal 1 Januari 2011. Peralihan ini sebagai bentuk pelaksanaan atas pemberlakuan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRB).

Artinya, BPHTB tidak lagi dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) karena telah menjadi kewenangan pemerintah daerah baik kabupaten atau kota. Keberadaan BPTHB dikenakan kepada pribadi atau badan karena perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan merupakan perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh pribadi atau badan.

Di sisi lain, PPhTB merupakan Pajak Penghasilan yang dibayarkan atas pengalihan tanah dan atau bangunan yang dibayarkan oleh pihak penjual—baik orang pribadi maupun badan. Pajak yang bersifat final (PPh Final) ini dibayarkan atas penghasilan yang diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya.

Dari definisi BPHTB dan PPhTB di atas, sudah jelas bahwa pihak penjual dan pembeli sama-sama memiliki tanggung jawab untuk membayar pajak.

Aturan

Baca Juga  Teropong Efektivitas “Core Tax” dalam Penyelesaian Sengketa Pajak

Lantaran BPHTB merupakan pajak daerah, maka tata cara mengenai pemungutannya diatur melalui peraturan daerah seperti peraturan gubernur (Pergub). Di Jakarta misalnya, terdapat Pergub No. 117 Tahun 2019 yang mengatur tentang Penyetoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Atas Perjanjian Pendahuluan Jual Beli.

Aturan ini menyebutkan bahwa setiap orang atau badan yang melakukan Perjanjian Pendahuluan Jual Beli (PPJB) untuk memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan, maka harus memasukkan BPHTB sebagai komponen pada harga transaksi, sekaligus menyetorkan BPHTB kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Adapun perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dimaksud meliputi rumah umum milik dan rumah komersial milik yang berbentuk rumah tunggal, rumah deret, dan rumah susun.

Sementara ketentuan PPhTB salah satunya termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 261/2016 (PMK 261/2016) yang menjelaskan tentang tata cara penyetoran, pelaporan, dan pengecualian pengenaan PPhTB, serta perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya. Kemudian diatur juga dalam PMK No. 37/2017 yang menjelaskan tentang tata cara pembayaran dan pelaporan PPh atas penghasilan dari pengalihan real estat dalam skema kontrak investasi kolektif tertentu.

Salah satu poin penting dalam PMK 261/2016 yakni penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.

Kemudian, penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya merupakan penghasilan yang diterima oleh pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat perjanjian dimaksud pertama kali ditandatangani, atau pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli—jika terjadi perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.

Baca Juga  Peringati HUT Kota Malang, Bapenda Gelar Program Pemutihan Pajak

Tarif

BPHTB dikenakan untuk semua transaksi properti, baik yang dibeli dari perorangan maupun pengembang. Menurut beberapa pergub yang pernah diterbitkan, tarif BPHTB adalah 5 persen dari harga jual, dikurangi dengan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Namun demikian, tarif ini tidak bisa dijadikan patokan lantaran besaran NJOPTKP berbeda di setiap daerah.

Sementara untuk PPhTB, terdapat tiga kelompok tarif PPh Final dalam transaksi penjualan atau pengalihan hak tanah dan bangunan, yakni 0 persen, 1 persen, dan 2,5 persen. Tarif 0 persen dikenakan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, BUMN yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, atau BUMD yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Selanjutnya, tarif 1 persen berlaku untuk penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana dan rumah susun sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Lalu, PPh Final 2,5 persen dikenakan untuk penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana atau rumah susun sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Penyetoran

Berdasarkan Pergub No. 117/2019, penyetoran BPHTB dilakukan oleh pihak penjual dengan menggunakan surat setoran pajak daerah. Selanjutnya, BPHTB yang telah disetorkan diakui sebagai kredit pajak daerah, artinya merupakan hak dari pembeli yang wajib diperhitungkan pada saat ditandatanganinya akta jual beli.

Jika terjadi pembatalan transaksi berdasarkan PPJB, maka Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atau kompensasi BPHTB. Pengembalian ini diajukan secara tertulis oleh pembeli yang berisi alasan pembatalan, dengan melampirkan beberapa persyaratan seperti fotokopi akta pembatalan transaksi dari notaris, fotokopi KTP penjual dan pembeli atau kuasanya apabila dikuasakan, dan surat setoran pajak daerah atas BPHTB yang telah disetorkan sebelumnya.

Baca Juga  Daftar Lengkap Penyesuaian Jenis dan Tarif Pajak di Kota Malang

Sementara PPhTB disetorkan ke kas negara bisa melalui layanan pada loket (over the counter), layanan dengan menggunakan sistem elektronik lainnya, atau pada bank/pos persepsi. PPhTB wajib dibayar oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan ke kas negara paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran.

Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam proses PHTB adalah adanya Surat Setoran Pajak (SSP) pembayaran PPh Final PHTB yang telah divalidasi oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Menariknya, Wajib Pajak telah dimudahkan untuk melakukan validasi via daring melalui aplikasi e-PHTB.

Wajib Pajak dapat memanfaatkan aplikasi yang telah hadir sejak Februari 2020 ini dengan mengakses saluran tertentu pada laman www.pajak.go.id. Yang menjadi catatan, penggunaan e-PHTB ini hanya dapat memfasilitasi permohonan yang menggunakan tarif tunggal, pembayaran dengan SSP/NTPN, dan jumlah pembayaran kurang dari 10 SSP/NPTN.

Namun, tentu saja melakukan validasi SSP PPhTB melalui e-PHTB terbilang lebih efisien karena Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran PPh diterbitkan seketika setelah Wajib Pajak mengisi formulir melalui laman DJP. Bandingkan dengan jangka waktu yang diperlukan apabila permohonan validasi SSP PHTB disampaikan secara langsung ke KPP yang bisa memakan waktu hingga tiga hari kerja.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *