Menu
in ,

Begini Ketentuan Agar UMKM Bebas Pajak Penghasilan

Pajak.comJakarta – Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati di beberapa kesempatan menegaskan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) memberikan insentif atau fasilitas paling banyak untuk sektor pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Hal itu sebagai wujud keberpihakan dan dukungan keberlangsungan UMKM. Pemerintah menyadari, sebanyak 64,2 juta UMKM saat ini telah berkontribusi terhadap PDB sebesar 61,07 persen atau senilai Rp 8,5 triliun. Sehingga, sangat wajar jika pemerintah memberikan perhatian yang serius kepada sektor UMKM agar panjang umur atau bahkan naik kelas.

Adapun dukungan yang diperoleh UMKM dari berlakunya UU HPP ini yakni diatur fasilitas batasan penghasilan bruto tidak kena pajak untuk UMKM perseorangan hingga Rp 500 juta setahun.

Artinya, Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dengan peredaran bruto tertentu atau UMKM dengan omzet di bawah Rp 500 juta rupiah per tahun, tidak perlu lagi bayar PPh Final 0,5 persen. Aturan itu tercantum dalam Bab III Pasal 7 ayat 2a.

“Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf e tidak dikenai Pajak Penghasilan atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 tahun pajak,” demikian bunyi beleid itu.

Selama ini, kewajiban perpajakan WPOP UMKM diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 (PP 23). Dalam aturan itu, UMKM yang memiliki peredaran bruto tertentu hingga Rp 4,8 miliar per tahun berkewajiban membayar pajak dengan tarif 0,5 persen.

Namun, ketentuan itu tidak diatur batasan minimal peredaran bruto yang diwajibkan untuk membayar pajak, sehingga berapa pun peredaran bruto WP sepanjang belum mencapai Rp 4,8 miliar setahun wajib membayar pajak sebesar 0,5 persen. Sementara untuk WPOP UMKM yang memiliki omzet di atas Rp 500 juta tetap mengikuti aturan dalam PP 23.

Untuk diketahui, ketentuan baru PPh dalam UU HPP yang antara lain mengatur tentang natura, tarif PPh Orang Pribadi, tarif PPh Badan, termasuk pemberlakuan batas peredaran bruto tidak kena pajak bagi UMKM mulai berlaku pada tahun pajak 2022 atau per 1 Januari 2022.

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (perubahan atas UU PPh) mulai berlaku pada tahun pajak 2022,” demikian dikutip dari Pasal 17 ayat (1) UU HPP.

Meski Kementerian Keuangan maupun Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum mengeluarkan aturan pelaksanaannya, pelaku UMKM diimbau untuk rutin mencatat rincian omzet. Poin-poin yang dapat masuk dalam catatan keuangan UMKM seperti perincian omzet dan perhitungan PPh Final, yang kemudian harus masuk dalam surat pemberitahuan (SPT) Tahunan.

Perincian omzet dapat menggambarkan apakah UMKM terkait bisa memperoleh pembebasan PPh Final atau akan membayar pajak.

“Karena belum ada aturan turunannya, silakan UMKM dapat melakukan pencatatan omzet secara mandiri terlebih dahulu,” cuit akun Twitter Kring Pajak, beberapa waktu lalu menjawab salah satu pertanyaan warganet.

DJP juga mencontohkan, jika terdapat UMKM yang memiliki penghasilan bruto setiap bulan Rp 150 juta, maka pada Januari—Maret WP itu belum memiliki kewajiban setor pajak karena omzetnya baru Rp 450 juta. Namun, saat memasuki bulan April, penghasilan brutonya telah mencapai Rp 600 juta sehingga omzet kena pajaknya adalah Rp 100 juta.

Maka, UMKM itu menyetor pajak 0,5 persen dari Rp 100 juta yakni Rp 500 ribu. Begitu pun jika dihitung hingga Desember, WP UMKM akan mendapat total penghasilan kotor Rp 1,8 miliar, tetapi hanya Rp 1,3 miliar saja yang dikenakan pajak penghasilan karena dikurangi Rp 500 juta. Sehingga pajak yang mesti dibayarkan hanya 0,5 persen dari Rp 1,3 miliar yaitu Rp 6,5 juta.

Yang perlu diingat, aturan ini tidak berlaku untuk UMKM yang telah berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau WP Badan. Namun, WP Badan UMKM tetap diberikan fasilitas penurunan tarif PPh Badan sebesar 50 persen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31E UU PPh. Lalu ada juga penerapan tarif final Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1 persen, 2 persen, atau 3 persen dari peredaran usaha untuk jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu yang akan diatur lebih lanjut dengan PMK.

Kemudian, pengusaha kecil atau UMKM yang sudah dikukuhkan sebagai PKP tidak perlu melakukan mekanisme Pajak Keluaran-Pajak Masukan (PK-PM), tetapi cukup menerapkan tarif final dalam pemungutan PPN yang tarifnya lebih rendah dibandingkan tarif dalam pedoman pengkreditan pajak masukan berdasarkan PMK 74/PMK.03/2010.

Nah, yang perlu diperhatikan, untuk penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan WPOP dan WP Badan memiliki batas akhir yang berbeda. Batas waktu pelaporan WPOP paling lambat tanggal 31 Maret, sementara WP Badan bisa menyampaikan hingga 30 April. DJP pun terus mengimbau agar WP dapat menyampaikannya sedini mungkin atau setidaknya tepat waktu. Jika telat dari waktu yang ditentukan, WPOP akan dikenakan denda sebesar Rp 100 ribu sementara WP badan dapat sanksi sebanyak Rp 1 juta.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version