in ,

Arah Kebijakan Umum Perpajakan Tahun 2023

Arah Kebijakan Umum Perpajakan Tahun 2023
FOTO : IST

Arah Kebijakan Umum Perpajakan Tahun 2023

Pajak.com, Jakarta – Dalam Buku II Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2023, pemerintah menargetkan pendapatan negara tahun 2023 sebesar Rp 2.443,6 triliun, yang terdiri dari penerimaan pajak serta bea dan cukai sebesar Rp 2.016,9 triliun, ditambah dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 426,3 triliun. Untuk mencapai itu, pemerintah telah menetapkan arah kebijakan umum perpajakan di tahun 2023, yaitu:

  1. Melanjutkan tren peningkatan pajak dengan menjaga efektivitas implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
  2. Melakukan penggalian potensi dengan ekstensifikasi dan intensifikasi untuk penguatan basis pemajakan dan peningkatan kepatuhan Wajib Pajak.
  3. Memberikan insentif fiskal pada kegiatan ekonomi strategis yang mempunyai multiplier effect yang kuat bagi perekonomian.
  4. Melaksanakan optimalisasi perpajakan melalui penguatan pengawasan dan penegakan hukum.
  5. Upaya meningkatkan penerimaan perpajakan dilakukan dengan tetap memerhatikan daya beli masyarakat.
  6. Memastikan pencapaian target penerimaan perpajakan dilakukan secara cermat dan hati-hati agar konsolidasi fiskal dengan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maksimal 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2023 dapat berjalan dengan baik.
Baca Juga  PNS Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Terapkan Skema Tabungan Pajak

Untuk mendukung implementasi itu, pemerintah menetapkan dukungan kebijakan teknis pajak, meliputi:

  1. Optimalisasi perluasan basis pemajakan.
  2. Penguatan ekstensifikasi pajak serta pengawasan terarah dan berbasis kewilayahan.
  3. Percepatan reformasi bidang sumber daya manusia (SDM), organisasi, proses bisnis, dan regulasi.
  4. Insentif fiskal yang terarah dan terukur.

Sementara itu, kebijakan teknis kepabeanan dan cukai, yaitu:

  1. Pengembangan ekosistem logistik nasional (National Logistic Ecosystem/NLE) dalam rangka mendorong efisiensi waktu dan biaya logistik nasional.
  2. Peningkatan efektivitas pengawasan preclearance, clearance, dan post-clearance (audit) kepabeanan dan cukai dalam mendorong peningkatan basis penerimaan dan kepatuhan pengguna jasa.
  3. Harmonisasi kebijakan barang larangan dan/atau pembatasan dengan K/L terkait.
  4. Optimalisasi kerja sama internasional di bidang kepabeanan dan cukai melalui partisipasi aktif dalam forum-forum internasional.
  5. Ekstensifikasi dan intensifikasi cukai dalam rangka mendukung implementasi UU HPP.
  6. Penataan manajemen sumber daya manusia yang lebih transparan, adil, dan mendorong kredibilitas organisasi melalui pengembangan pola mutasi, pola karier dan manajemen talenta.
  7. Penyelarasan proses bisnis dan teknologi informasi dalam rangka mendorong peningkatan kinerja organisasi dan kepuasan pengguna jasa.
  8. Pemberian fasilitasi kepabeanan dan cukai yang tepat sasaran melalui penguatan dan harmonisasi kebijakan kawasan berfasilitas, serta penguatan Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT).
Baca Juga  Mengenal Tobin Tax: Definisi, Tujuan, dan Tantangan Penerapannya

“Memerhatikan berbagai faktor dan kebijakan perpajakan di atas, penerimaan perpajakan dalam RAPBN Tahun Anggaran 2023 diperkirakan mencapai Rp 2.016.923,7 miliar atau tumbuh 4,8 persen. Di sisi lain, pemerintah akan terus mewaspadai faktor risiko pelemahan perekonomian global dan moderasi harga komoditas yang dapat memengaruhi penerimaan perpajakan,” tulis Buku II Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2023, dikutip Pajak.com (20/8).

Selain itu, pemerintah juga menyoroti tren digitalisasi yang akan menjadi pisau bermata dua. Berefek positif pada efisiensi perekonomian, namun juga berpotensi besar meningkatkan shadow economy. Tingginya aktivitas ekonomi yang tidak terdaftar atau terdeteksi, menimbulkan hambatan bagi Direktorar Jenderal Pajak (DJP) untuk menggali potensi penerimaan.

“Hal tersebut meningkatkan risiko kehilangan basis pajak atau Wajib Pajak, terutama dari Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Walaupun saat ini pemerintah telah menerapkan kewajiban Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atas transaksi elektronik, perkembangan digitalisasi yang cepat terutama setelah pandemi COVID-19 perlu diantisipasi,” tulis pemerintah dalam Buku II Nota Keuangan dan RAPBN 2023.

Baca Juga  Hak Wajib Pajak saat Terima Surat Tagihan Pajak

Seperti diketahui, pemungutan PPN PMSE pertama kali dilakukan pada 1 Juli 2020. Kebijakan ini lahir dari Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020, yang kemudian diatur ata cara pemungutan PPN PMSE dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020, dan diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022. Adapun tarif PPN dikenakan menjadi 11 persen dari sebelumnya 10 persen mulai 1 April 2022.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), hasil pungutan PPN PMSE dari Januari hingga Juli 2022 telah mencapai Rp 3,02 triliun. Sementara jika dihitung sejak Juli 2020, pemerintah telah berhasil mengantongi Rp 7,65 triliun dari PPN PMSE.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *