Menu
in ,

APPBI Minta Insentif Pajak Daerah yang Tetap dan Merata

Pajak.com, Jakarta – Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) memperkirakan, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa dan Bali level 4 berpotensi menggerus pendapatan mencapai Rp 5 triliun per bulan. Untuk itu, pihaknya memerlukan insentif pajak daerah yang terdiri dari pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak reklame, dan pajak retribusi lainnya yang bersifat tetap. Selama pandemi, tidak semua pemerintah daerah memberikan insentif pajak. DKI Jakarta misalnya, hanya memberikan diskon 20 persen untuk PBB.

Ketua Umum APPBI Alphonzus Widjaja menuturkan, PPKM darurat maupun level 4 telah memberikan banyak kerugian bagi para pelaku usaha. Tak hanya soal pembatasan, daya beli masyarakat yang menurun juga menjadi penyebab utama potensi kebangkutan pengelola pusat perbelanjaan.

“Ada potensi pendapatan kurang lebih Rp 5 triliun per bulan. Untuk Jawa dan Bali (PPKM darurat) kami telah kehilangan Rp 3,5 triliun per bulan. Itu angka dari pusat perbelanjaan. Sebetulnya, mendingan agak lebih baik dari 2020 tapi terjadi lonjakan kasus positif jadi semakin berat. Jadi kami meminta bantuan pemerintah, sekarang ini pemerintah harus lihat karena pelaku usaha sudah tidak mampu mengatasi masalah sendiri atas kemampuannya sendiri,” jelas Alphonzus dalam konferensi pers bertajuk Temu Wicara APRINDO bersama APPBI, pada (22/7).

Dengan demikian, menurutnya, wajar jika pengusaha meminta insentif pajak daerah selain insentif pajak pusat. Alphonzus mengatakan, insentif yang baru terimplementasi adalah pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah (DTP) untuk sewa properti.

“Yang sudah diakomodir akan ada insentif bulan Maret untuk ritel dan yang saya tahu baru satu, yakni PPN yang sewa, artinya buat peritel sewa. Tapi gimana yang di luar pusat belanja yang stand alone?” ujarnya.

Ke depan, APBBI berharap pelaku ritel dapat diajak berdialog dengan pemerintah dalam setiap pembuatan kebijakan, sehingga kebijakan dapat lebih tepat sasaran. Ia pun berharap, pemerintah dapat memastikan ketegasan bagi pelanggar PPKM level 4.

“Ada kebijakan cenderung terlambat, jadi cenderung tidak efektif. Misalnya, perihal pemakaian minimum PLN tapi tidak dikabulkan. Jadi diminta bulan April dan baru disetujui enam bulan kemudian. Jadi ini enggak ada manfaatnya. Inilah kebijakan pemerintah begitu lama digodok setelah digulirkan sudah terlambat semua,” ungkap Alphonzus.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Modern Indonesia (APRINDO) Roy Nicholas Mandey. Ia juga mengakui penjualan ritel turun selama PPKM darurat lalu dan memprediksi semakin banyak jumlah gerai ritel yang tutup ke depan.

“Jadi kalau dari statement 2020 secara indikator bahwa itu ada 5 sampai 6 toko swalayan tutup. Dan kalau 2021 setiap hari 1 sampai 2 tutup toko. Bayangkan 1 minimarket nilainya Rp 1 sampai 1,5 miliar, hypermart Rp 30 miliar sampai 35 miliar. Kita rata-rata saja dikali 1.300 (ritel) sudah berapa angkanya,” ungkap Roy.

Oleh karena itu, ia turut berharap, pemerintah bisa memberikan tambahan insentif bagi para pelaku usaha ritel, khususnya insentif pajak daerah yang merata di seluruh Wilayah Jawa dan Bali.

“Untuk perpajakan ini sudah dijawab pemerintah (pusat) pada pekan lalu dengan perpanjangan hingga akhir Desember, itu sudah oke bagi kami,” kata Roy.

APRINDO pun ingin agar pihaknya dilibatkan dalam perumusan kebijakan, sehingga tidak terjadi perdebatan yang fundamental dan mampu mengakomodir permasalahan sektor ritel. Pemerintah harus menyadari bahwa ritel sejatinya penting bagi perekonomian nasional.

“Saat ini kegiatan usaha ritel belum dianggap prioritas, padahal sektor ritel merupakan salah satu pembentuk nilai konsumsi rumah tangga yang menyumbang 60 persen produk domestik bruto (PDB) nasional,” jelas Roy.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version