Menu
in ,

ADB Dukung Pengembangan Energi Hijau di Indonesia

ADB Dukung Pendanaan Pengembangan Energi Hijau di Indonesia

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Asian Development Bank (ADB) berkomitmen mendukung pendanaan pengembangan ekonomi berbasis energi hijau di Indonesia. Secara total, ADB telah mengalokasikan dana sebesar 80 miliar dollar AS untuk pendanaan iklim untuk semua negara periode tahun 2019-2030.

“Pandemi memberi kita kesempatan unik untuk membangun kembali melalui pemulihan yang hijau, tangguh, dan inklusif. ADB akan mendukung transisi dan pengembangan Indonesia menuju ekonomi berbasis energi hijau rendah karbon dengan pendanaan untuk pembangkit energi bersih. Indonesia dapat memimpin dengan memberi contoh melalui kepemimpinan G20 yang akan datang di tahun 2022 dan ASEAN di tahun 2023. ADB berkomitmen untuk memberikan dukungan penuh kepada Indonesia melalui sovereign yang kami miliki dan operasi sektor swasta, serta saling berbagi pengetahuan,” jelas Presiden ADB Masatsugu Asakawa dalam webinar International Climate Change Conference bertajuk A Just and Affordable Transition toward Net Zero, yang disiarkan YouTube Kementerian Keuangan (22/7).

Masatsugu mengatakan, selama ini ADB telah bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam beberapa program, antara lain dukungan terhadap pengembangan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) yang perlahan seirama dengan pengurangan penggunaan pembangkit listrik berbasis batu bara.

Di kesempatan yang sama, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menuturkan, Indonesia akan terus berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dan membawa Indonesia menjadi negara yang berbasis ekonomi rendah karbon. Salah satunya, Indonesia telah menyampaikan nationally determined contribution (NDC) pertama ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun 2016. Isinya, Indonesia menargetkan dapat melakukan pengurangan emisi 29 persen tanpa dukungan internasional dan 41 persen dengan dukungan internasional.

“Saat ini isu perubahan iklim telah masuk ke dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional 2020-2024 dan pemerintah telah menetapkan rencana aksi nasional, baik mitigasi maupun adaptasi. Dalam waktu dekat, kami akan menggunakan fase pemulihan ini pasca-pandemi Covid-19 untuk mengejar agenda iklim dan keberlanjutan kami,” kata Sua.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menambahkan, saat ini sangat penting merencanakan strategi pendanaan untuk untuk mencapai target NDC, terutama bagi emerging countries seperti Indonesia.

“Banyak inisiatif yang telah kita lakukan (terkait pendanaan), tidak hanya saat ini tetapi sejak beberapa tahun yang lalu. Sehingga ketika berbicara pemulihan hijau, Indonesia telah melakukan berbagai upaya tersebut. Kita harus memanfaatkan momentum pandemi ini untuk bisa pulih dengan lebih hijau,” ujar Febrio.

Menurutnya, Indonesia tengah menyusun kerangka kerja fiskal perubahan iklim (climate change fiscal framework/CCFF) untuk memperkuat pembiayaan berkelanjutan demi mencapai sustainable development goals (SDGs), NDC, dan emisi nol karbon.

“CCFF akan menetapkan strategi kebijakan untuk memobilisasi pembiayaan publik dan swasta untuk pembangunan berkelanjutan. Dengan kerangka ini, insentif fiskal, subsidi, dan pajak semuanya akan diarahkan untuk menciptakan lingkungan investasi yang menguntungkan bagi sektor hijau,” kata Febrio.

Selain itu, untuk mempercepat investasi energi hijau, Indonesia memiliki agenda reformasi kebijakan fiskal. Sejak tahun 2016, Indonesia telah melakukan penandaan anggaran iklim. Selama lima tahun terakhir belanja negara untuk penanganan perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Untuk menarik pendanaan dari sektor swasta, Indonesia memberikan insentif fiskal seperti tax holiday, tax allowance, dan fasilitas pajak pertambahan nilai (PPN).

“Insentif pajak yang sudah diberikan untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan di Indonesia serta insentif pajak untuk mobil listrik. Pada saat yang bersamaan, pemerintah Indonesia juga sedang menyusun mekanisme nilai ekonomi (carbon pricing) dan pajak karbon. Sementara itu di sisi pembiayaan APBN, pemerintah telah menerbitkan green sukuk sejak 2018 yang di antaranya digunakan membiayai transportasi berkelanjutan, mitigasi bencana, pengelolaan limbah, akses energi sumber terbarukan, dan efisiensi energi,” kata Febrio.

Indonesia juga telah menjalin kemitraan untuk akses pendanaan internasional, seperti yang berasal dari green climate fund melalui BKF Kemenkeu dan membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Febrio menambahkan, untuk semakin menarik pendanaan non-APBN, Indonesia mengembangkan kerangka keuangan berkelanjutan (sustainable finance) dengan menyiapkan enabling environment berupa taksonomi hijau di tingkat nasional.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version