in ,

AKP2I: Penyelesaian Sengketa Pajak untuk Capai Keadilan

AKP2I
FOTO: IST

AKP2I: Penyelesaian Sengketa Pajak untuk Capai Keadilan

Pajak.com, Jakarta – Pengurus Daerah (PD) Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I) DKI Jakarta menggelar webinar bertajuk Investigasi Pemeriksaan Pajak dan Sengketa Pajak Berdasarkan Peraturan Berlaku, pada (29/5). Ketua Umum AKP2I Suherman Soleh berharap, para anggota AKP2I dapat lebih berperan membantu Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menyelesaikan atau memitigasi sengketa pajak. Sebab sejatinya, penyelesaian sengketa pajak dimaksudkan untuk mencapai keadilan bersama.

“Sengketa pajak terjadi karena ada dua perbedaan pendapat yang harus diselesaikan di tempat yang maha adil yang mempunyai kemampuan serta kewenangan untuk menegakkan keadilan, yaitu Pengadilan Pajak. Kemudian, kenapa harus ada investigasi pajak? karena konsekuensi dari self assessment. DJP menguji SPT (Surat Pemberitahuan)—Wajib Pajak menghitung (pajak), mengisi, dan lapor sendiri. Di DJP akan diteliti dan diinvestigasi kemudian dituangkan dalam SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas data dan/atau Keterangan). Lalu, ada pemeriksaan hingga akhirnya sengketa pajak,” jelas Suherman dalam sambutannya, dikutip Pajak.com, (2/6).

Kemudian, apabila tidak menerima keputusan DJP yang dianggap tidak sesuai, maka Wajib Pajak berhak mengajukan keberatan, banding, dan peninjauan kembali—tahapan penyelesaian sengketa pajak. Suherman menegaskan, semua upaya hukum penyelesaian sengketa pajak itu semua berlandaskan keadilan.

Pada kesempatan yang sama, Ketua PD AKP2I DKI Jakarta Monang Sihombing berharap, tema pada webinar kali ini dapat lebih meningkatkan ilmu dan pengetahuan anggota AKP2I yang terbiasa menghadapi sengketa pajak.

“Semoga tema penyelesaian sengketa ini dapat memajukan anggota-anggota AKP2I sebagai mitra strategis DJP. Apalagi pembicara pada materi kali ini eks hakim pengadilan pajak,” kata Monang.

Baca Juga  Manfaat dan Cara Kerja Fitur Deposit Pajak di Coretax System

Akademisi dan Ahli Hukum Pajak sekaligus eks Hakim Pengadilan Pajak Haposan Lumban Gaol juga menegaskan, adanya penerapan sistem self assessment menuntut Wajib Pajak untuk menghitung dan melaporkan sendiri besaran kewajiban yang harus dibayarkan. Bagi Wajib Pajak yang memiliki pemahaman terbatas atas sistem perpajakan, baik dari segi aturan maupun administrasi, seharusnya memerlukan konsultan pajak.

Sebab, dalam menghadapi pemeriksaan pajak, Wajib Pajak dituntut untuk mengetahui hak-haknya secara komprehensif dan tepat. Adapun hak Wajib Pajak dalam menghadapi pemeriksaan pajak, yaitu meminta kepada pemeriksa pajak untuk memberikan Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) lapangan; meminta kepada pemeriksa pajak surat perubahan tim pemeriksa pajak (jika ada); meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan pemeriksaan; menerima Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP); menghadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan; mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan tim quality assurance pemeriksaan, dalam hal masih terdapat hasil pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara pemeriksa pajak dengan Wajib Pajak pada saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan, kecuali untuk pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan jenis pemeriksaan kantor; dan memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan pemeriksaan oleh pemeriksa pajak melalui pengisian kuesioner pemeriksaan.

Kemudian, Wajib Pajak juga harus memahami setiap tahapan dalam penyelesaian sengketa pajak, baik keberatan, gugatan, hingga peninjauan kembali. Sebab, apabila salah dalam melangkah, maka justru akan merugikan Wajib Pajak, baik dari segi materi maupun waktu.

Baca Juga  KPP Pratama Semarang Timur dan Pertamina Patra Niaga Buka Klinik Pelaporan SPT

“Setelah tahap pemeriksaan, untuk menyelesaikan sengketa pajak, perlu langkah yang efektif dan efisien untuk mencapai keadilan. Pada umumnya, sengketa pajak terjadi saat pelaksanaan pemungutan pajak tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan, yang selanjutnya akan memicu perbedaan perhitungan pajak atau perbedaan interpretasi aturan antara otoritas pajak dan Wajib Pajak. Pada teori peran dijelaskan bahwa ketika Wajib Pajak mengalami kendala dalam menjalankan aktivitas perpajakannya, maka Wajib Pajak dapat dibantu oleh konsultan pajak. Untuk itu, konsultan pajak mempunyai peran yang strategis,” kata Haposan.

Ia juga menilai, diperlukan adanya upaya strategis ataupun suatu skema pencegahan secara efektif dan efisien. Secara garis besar, terdapat lima upaya strategis yang mampu diimplementasikan. Pertama, perumusan produk hukum yang berkualitas. Pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan tentu harus jelas, pasti, dan tidak multiftafsir.

“Perubahan aturan pajak ini awalnya perlu berfokus pada muatan materi peraturan yang ada di dalam grey area. Untuk dapat membentuk peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berkualitas, diperlukan pertanggungjawaban yang melibatkan para pemangku kepentingan. Keterlibatan atau representasi masyarakat sebagai pihak eksternal dalam proses perumusan kebijakan pajak ialah hal yang krusial dan menjadi tuntutan. Selain itu, sinergi antarinstansi yang berkepentingan pun diperlukan,” jelas Haposan.

Kedua, simplifikasi pajak. Pada prinsipnya, simplifikasi pajak perlu diletakkan dalam perspektif gambaran besar dari tujuan pengadaan suatu sistem atau kebijakan pajak tersebut. Adapun, simplifikasi pajak yang dilakukan perlu dianggap sebagai alat untuk mencapai tujuan pajak. Simplifikasi pajak dapat dilakukan pada empat aspek, diantaranya aturan pajak; kebijakan; administrasi; dan mekanisme kepatuhan atau interaksi antara pemungut pajak, Wajib Pajak, dan otoritas pajak. Ketiga, penerapan compliance risk management (CRM).

Baca Juga  Gupto Andreantoro, “Living the Dream” Jadi Konsultan Pajak

“Kerangka CRM ialah pendekatan yang sistematis untuk mengelola kepatuhan wajib pajak. Pada konteks upaya pencegahan dan penyelesaian sengketa pajak, penerapan CRM ini dimanfaatkan untuk memetakan tingkat risiko dan sifat perilaku sebagai dasarnya,” kata Haposan.

Keempat, penerapan advance ruling, yaitu suatu prosedur yang dilakukan Wajib Pajak untuk memperoleh konfirmasi tertulis dari otoritas pajak sebelum melakukan transaksi-transaksi khusus. Konfirmasi ini sehubungan dengan konsekuensi pajak yang akan timbul dalam pelaksanaan transaksi tersebut. Kelima, pemanfaatan teknologi informasi.

Webinar yang dimoderatori oleh Managing Partner Tax Hive Five M. Agustiawan Saputra dan dihadiri oleh ratusan peserta ini ditutup dengan sesi tanya jawab. Selain Haposan, hadir pula Ketua I AKP2I Sangap Tua Ritonga sebagai pemateri.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *