Latar Belakang Pemerintah Menetapkan Kebijakan
Pandemi Covid-19 bermula pada triwulan I tahun 2020 berdampak buruk kepada perekonomian dunia termasuk Indonesia. Walaupun terjadi penurunan ekonomi secara umum, transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) mengalami peningkatan. Fakta ini dibuktikan dengan kenaikan transaksi e-commerce di Indonesia yang awalnya hanya sebesar Rp42,4 Triliun pada tahun 2017 menjadi Rp253 Triliun pada tahun 2020 (Beritagar.id, 2022), bahkan tahun 2021 menyentuh angka Rp337 Triliun. Pemerintah merespon kenaikan transaksi perdagangan elektronik ini melalui pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas PMSE. Selain itu, dilansir dari Konferensi Pers APBN 2021, penerimaan pajak per November 2021 mencapai Rp953,6 Triliun dan penerimaan dari sektor PPN mengalami pertumbuhan sebesar 20.4% yang didorong salah satunya oleh kegiatan impor meningkat signifikan.Pemberlakuan pengenaan PPN PMSE ditujukan untuk 2 (dua) hal, antara lain (i) menjadi sumber penerimaan negara di tengah maraknya kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud (BKPTB) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) melalui perdagangan melalui sistem elektronik; dan (ii) memastikan PPN yang terutang atas kegiatan pemanfaatan BKPTB dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui PMSE yang disetor ke kas negara melalui Pemungut PPN PMSE (Wulandari, 2023). Kebijakan ini diatur dalam Perpu No. 1 Tahun 2020 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 2 Tahun 2020 (UU 2/2020) dan peraturan turunan yang berlaku PMK No. 60/PMK.03/2022 (PMK 60/2022). PMK 60/2022 diharapkan dapat menjadi sebuah landasan hukum dalam pelaksanaan pengenaan PPN atas permasalahan digitalisasi ekonomi (Widianto & Puspita, 2020; Ramadani et al., 2023).
Implikasi PPN PMSE Terhadap Kepatuhan dan Penerimaan
PMK 60/2022 mengatur mekanisme umum PPN atas transaksi PMSE, dalam hal ini terkait pemungut PPN PMSE, yakni para pelaku usaha di bidang PMSE yang memenuhi kriteria tertentu akan ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai pemungut PPN PMSE yang kemudian berkewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang. Pemungut PPN PMSE adalah market place selaku intermediary collection. Kriteria pemungut yang dimaksud meliputi:
- Nilai transaksi dengan Pembeli Barang dan/ atau Penerima Jasa di Indonesia melebihi jumlah tertentu dalam 12 (dua belas) bulan.
- Jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu dalam 12 (dua belas) bulan.
Pergeseran pemungutan PPN yang semula dilakukan dengan self-assessment dan berubah menjadi withholding tax ini bertujuan untuk lebih menggali data Wajib Pajak sehingga fiskus lebih mudah untuk menggali potensi penerimaan. Data dari Direktorat Data dan Informasi Perpajakan menunjukkan bahwa pemungut PPN PMSE sejak tahun 2020 hingga 2023 meningkat. Hal ini berbanding lurus pula dengan tingkat kepatuhan. Pada tahun 2020 persentase tingkat kepatuhan adalah 80,39% dan menunjukkan tren peningkatan hingga tahun 2023 sebesar 92,64%. Persentase ini dihitung dari jumlah WP yang melapor per tahun dibandingkan dengan jumlah pemungut PPN, yakni tahun 2023 jumlah WP yang melapor sebanyak 151 dari 163 jumlah pemungut PPN. Selain itu, PPN PMSE berdampak positif terhadap penerimaan pajak di Indonesia. Dilansir dari Siaran Pers DJP, pada tahun 2020 penerimaan PPN PMSE sebesar Rp731,4 Miliar meningkat signifikan menjadi sebesar Rp6.761,4 Miliar pada tahun 2023. Selaras dengan teori kepatuhan pajak, peningkatan kepatuhan pajak berdampak langsung terhadap penerimaan pajak (Sari & Latupeirissa, 2019). Pandemi Covid-19 juga berperan dalam mempercepat adopsi teknologi dan aplikasi berbasis digital di Indonesia, terutama dalam pengadopsian e-commerce yang mengalami pertumbuhan yang pesat dan menjadi bagian penting dalam aktivitas ekonomi masyarakat (Hendo & Marfiana, 2024).
Pemenuhan Prinsip Perpajakan oleh PPN PMSE
Peraturan mengenai PPN PMSE mengatur bahwa setiap barang dan/atau jasa yang berasal dari dalam maupun luar daerah pabean yang digunakan di dalam Daerah Pabean tetap dikenakan PPN. Hal ini menjamin asas neutrality sehingga mampu meningkatkan penerimaan negara. Pengaturan PPN atas PMSE ini juga memberikan kepastian hukum karena secara spesifik menetapkan bahwa para pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usaha melalui platform digital akan tetap dikenakan PPN baik pelaku usaha di dalam negeri maupun di luar negeri. Kepatuhan pajak mampu mendorong peningkatan penerimaan perpajakan (Sari & Latupeirissa, 2019). Terlebih, hal ini sejalan dengan destination principle yang artinya setiap Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau JKP akan dikenakan PPN di tempat BKP dan/atau JKP tersebut dikonsumsi atau dimanfaatkan. Intinya, skema pelaksanaan kewajiban perpajakan PMSE memiliki skema yang sama seperti skema perdagangan pada umumnya yang dilakukan secara fisik (langsung) namun perbedaannya terletak pada platform digital yang digunakan.
Peluang dan Tantangan
Mengingat bahwa kepatuhan kepatuhan Wajib Pajak berdampak signifikan terhadap penerimaan pajak, sesuai dengan pendapat Sitorus (2018) dalam penelitiannya, pemerintah seharusnya menetapkan kebijakan terkait kewajiban kepatuhan bagi Wajib Pajak. Dengan begitu, negara mampu menggali lagi potensi penerimaan dan tentunya memberi kepastian hukum bagi Wajib Pajak selaku pemikul beban perpajakan. Terutama bagi para Wajib Pajak yang juga ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE, pembuatan kebijakan terkait kewajiban kepatuhan ini mampu meningkatkan niat sukarela untuk mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan melaksanakan kewajiban memungut, menyetor, dan melaporkan PPN kepada negara. Pemberlakuan PPN PMSE tidak hanya menggali potensi penerimaan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam negeri tetapi juga dianggap sebagai langkah yang tepat untuk menggali potensi penerimaan pajak dari pelaku usaha luar negeri yang melakukan transaksi di Indonesia (Marbun & Rahayu, 2023). Pemerintah berusaha melindungi produk lokal dari cross border transaction melalui PPN PMSE.
Adanya phenomena gap antara penyesuaian kebijakan PPN PMSE dengan pengawasan transaksi PPN PMSE juga merupakan tantangan bagi perpajakan di Indonesia. Menurut Ali-Yrkko et al. (2020), pengawasan perpajakan atas transaksi PPN PMSE sangat sulit hingga mendekati tidak mungkin karena perdagangan elektronik melampaui batas negara sehingga sulit untuk menegakkan peraturan pajak. Otoritas pajak Indonesia memiliki batasan dalam memastikan kepatuhan pemungut PPN PMSE luar negeri, hal ini disebabkan karena mereka berada di luar yurisdiksi perpajakan Indonesia. Ditambah, transaksi perdagangan melibatkan banyak pihak, termasuk penjual, pembeli, pemungut, dan pihak lainnya serta transaksi secara elektronik tidak dalam bentuk fisik sehingga akan mempersulit proses pengawasan oleh otoritas. Untungnya, kondisi ini secara perlahan dibantu oleh pelaporan pelaporan pelaku usaha PMSE kepada otoritas pajak di Indonesia (Wulandari, 2023).
Kesimpulan
Kebijakan PPN PMSE tepat diterapkan di Indonesia terutama di era digital saat ini karena semakin banyak transaksi perdagangan elektronik. Namun, pemerintah perlu menyusun kebijakan lanjutan agar mampu menjangkau transaksi lintas negara yang sulit ataupun transaksi lainnya yang belum diatur oleh Undang-Undang agar meningkatkan penerimaan negara. Selain itu, dengan adanya PPN PMSE, produk lokal dapat terlindungi dan mampu bersaing dalam kancah internasional.
Daftar Pustaka
Ali-Yrkkö, J., Koski, H., Kässi, O., Pajarinen, M., Valkonen, T., Hokkanen, M., … & Nyström, E. (2020). The size of the digital economy in Finland and its impact on taxation (No. 106). ETLA Report.
Beritagar.id. (2022). Transaksi E-commerce, 2017-2021. Lokadata. https://lokadata.beritagar.id/chart/preview/transaksi-e-commerce-2017-2021-1617945737
Hendo, N. F., & Marfiana, A. (2024). Dampak Penunjukan Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Terhadap Kepatuhan Perpajakan Di Indonesia. Jurnalku, 4(3), 260-274.
Kementerian Keuangan. (2021, November 25). Penerimaan Pajak Oktober Capai Rp953,6 T, Tumbuh 15.3%. Kementerian Keuangan. https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/penerimaan-pajak-oktober-capai-rp953-6-t-tumbuh-15
Marbun, R., & Rahayu, N. (2023). Tinjauan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Domestik dan Asing. Owner: Riset dan Jurnal Akuntansi, 7(2), 932-944.
Putri, A. F., & Wijaya, S. (2022). Kajian pemungut PPN lainnya dalam mekanisme PMSE atas transaksi digital domestik: proposal untuk Indonesia. Jurnal Pajak Indonesia (Indonesian Tax Review), 6(2S), 561-577.
Sari, D. P., & Latupeirissa, J. J. P. (2019). Analisis Perbedaan Penerimaan Pajak Sebelum dan Sesudah Penerapan Program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) pada KPP Pratama Denpasar. JSAM (Jurnal Sains, Akuntansi dan Manajemen), 1(1), 1-34.
Sitorus, R. R. (2018). Does E-Commerce effect on total tax paid through taxpayer’s compliance?. Journal of Accounting, Business and Finance Research, 4(2), 40-48.
Wulandari, D. (2023). Tentang PPN PMSE Indonesia: Masih Ada yang Perlu Diperbaiki?. Jurnal Pajak Indonesia (Indonesian Tax Review), 7(2), 54-66.
Comments