Implikasi Fiskal dalam Struktur Harga Tiket Pesawat Domestik
Tingginya biaya tiket pesawat domestik di Indonesia menjadi salah satu perbincangan yang ramai dibahas oleh masyarakat. Masyarakat kerap kali membandingkan biaya yang harus dikeluarkan saat melakukan perjalanan domestik dengan biaya perjalanan internasional. Tingginya biaya ini disebabkan oleh sejumlah faktor, yaitu yang pertama adalah tarif jarak, yang didasarkan atas besaran tarif per rute per satu kali penerbangan. Selanjutnya, terdapat iuran wajib asuransi, yaitu iuran yang wajib dibayar penumpang angkutan umum yang dikelola oleh perusahaan asuransi negara sebagai perlindungan terhadap risiko kecelakaan. Pihak maskapai juga melakukan sewa pesawat, pemeliharaan atau perawatan, merekrut kru, serta pelatihan pilot. Selain itu, biaya tambahan seperti biaya untuk bahan bakar avtur juga sangat memengaruhi komponen biaya operasional. Terakhir, yang tidak kalah penting adalah faktor yang berasal dari segi perpajakan.
Dalam dunia penerbangan domestik, terdapat pajak yang dikenakan atas tiket pesawat terbang. Pajak tiket pesawat merupakan pajak yang dikenakan pada tiket pesawat yang dibayarkan oleh penumpang kepada maskapai penerbangan dengan tarif 11% sesuai dengan tarif PPN di Indonesia (Pasal 7 ayat 1 huruf a UU PPN). Pengenaan PPN pada pesawat dengan tujuan domestik inilah yang menjadi salah satu dasar mengapa terdapat perbedaan biaya perjalanan luar negeri dan dalam negeri.
Namun, terdapat juga ketentuan pembebasan PPN tiket pesawat domestik yang dijelaskan dalam PP No. 49 Tahun 2022 tentang PPN Dibebaskan dan PPN atau PPN dan PPnBM Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) Tertentu dan/atau Pemanfaatan JKP Tertentu dari Luar Daerah Pabean. Bahwa syarat tiket pesawat bebas PPN harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 21 PP 49/2022, di antaranya: Jasa angkutan udara menggunakan pesawat udara untuk 1 perjalanan atau lebih, dari 1 bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandara. Jasa angkutan udara luar negeri ke beberapa bandar udara Indonesia atau sebaliknya, sepanjang kegiatan jasa angkutan udara tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan jasa angkutan luar negeri, serta seluruh penerbangan tersebut terangkum dalam 1 tiket.
Berkaitan dengan mahalnya tiket pesawat domestik, Kementerian Perhubungan melalui Badan Kebijakan Transportasi yang diwakilkan oleh Kepala Badan Kebijakan Transportasi (BKT) Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (Kemenhub) Robby Kurniawan memberikan usulan terkait penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk tiket pesawat terbang, hal ini dikemukakan setelah melakukan kajian mendalam bersama asosiasi penerbangan, Indonesia National Air Carriers Association (INACA) guna mencari solusi untuk menekan harga tiket pesawat, sekaligus sebagai bentuk perlakuan yang sama dengan jasa angkutan darat dan air (mengutamakan asas equality dalam perpajakan). Selain penghapusan PPN, Robby Kurniawan juga merekomendasikan agar pemerintah memberikan insentif fiskal, terutama untuk bahan bakar avtur, suku cadang pesawat dan komponen lainnya. Hal ini disebabkan karena avtur berkontribusi sebesar 52% untuk operasional pesawat, yang menjadikan avtur sebagai komponen yang paling menentukan. BKT turut memberikan rekomendasi agar avtur bisa disediakan oleh banyak perusahaan (multiprovider).
Rekomendasi tersebut bukanlah tanpa alasan. Menurut Tony Fernandes, CEO AirAsia, penyebab mahalnya avtur didasari atas minimnya kompetisi penyedia avtur. Di Indonesia sendiri, perusahaan yang menyediakan avtur masih berasal dari satu perusahaan yaitu PT Pertamina, sehingga perusahaan tersebut dapat mengenakan biaya sesuai dengan yang diinginkan. Namun, hal ini disanggah oleh PT Pertamina yang mengatakan bahwa harga avtur masih terbilang kompetitif dan mengikuti peraturan pemerintah, yaitu Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.17 K/10/MEM/2019. Selain itu rantai pasok avtur di Indonesia dianggap juga lebih kompleks dari negara lain. Tanggapan lain turut disampaikan oleh pengamat penerbangan, Alvin Lie, yang mengatakan bahwa biaya avtur masih setara dengan negara lain, dan biayanya dipengaruhi oleh faktor geografis yaitu lokasi yang jauh dari titik angkut avtur.
Usulan lain juga dikemukakan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, yang menyatakan bahwa pemerintah tengah mengkaji pemberian insentif perpajakan guna menurunkan harga tiket pesawat. Insentif perpajakan yang dimaksud berupa peluang pemberian PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk beberapa destinasi prioritas, hingga mengurangi biaya operasi pesawat melalui pembebasan Bea Masuk dan pembukaan larangan atau pembatasan (lartas) barang impor tertentu yang menjadi kebutuhan penerbangan. Hal ini haruslah dikaji dengan matang sebelum diimplementasikan di Indonesia. Apakah PPN DTP yang bersifat periodik dapat menjadi solusi efektif yang memberikan kebermanfaatan secara berkepanjangan? atau justru malah memberikan solusi jangka jangka pendek yang tidak dapat menyelesaikan permasalahan ini secara menyeluruh?
Kesimpulan dari diskursus mengenai peran pajak dalam pembentukan harga tiket pesawat domestik ini yaitu, pemerintah diharap dapat melakukan peninjauan ulang terhadap berbagai pungutan yang selama ini dibebankan kepada penumpang. Beban biaya yang berasal dari pajak, iuran, dan kebijakan lain telah berkontribusi signifikan pada tingginya harga tiket pesawat, yang pada akhirnya mempengaruhi daya beli masyarakat dan daya saing industri penerbangan.
Selain itu, pemerintah diharap dapat mengambil langkah-langkah strategis dengan melakukan intervensi terhadap struktur biaya penerbangan, terutama dalam pembentukan harga tiket. Langkah-langkah tersebut dapat mencakup, pembebasan PPN untuk tiket pesawat, pembebasan bea impor untuk suku cadang pesawat, pengendalian harga avtur, dan pengurangan atau penghapusan berbagai pungutan lain yang secara tidak langsung berkaitan dengan operasi penerbangan. Intervensi semacam ini akan meringankan biaya operasional maskapai, sehingga memungkinkan harga tiket menjadi lebih wajar dan terjangkau bagi konsumen.
Dengan demikian, revisi kebijakan fiskal yang mendukung efisiensi biaya di sektor penerbangan akan berdampak positif tidak hanya bagi maskapai, tetapi juga bagi pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan. Pemerintah diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi industri penerbangan untuk berkembang, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara kepentingan publik, industri, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Comments