in ,

Penentuan Residen dan Solusi Dual Residen dalam Tax Treaty

Tax Treaty
FOTO : IST

Penentuan Residen dan Solusi Dual Residen dalam Tax Treaty – Sangat mungkin terjadi subjek pajak yang bekerja di LN merasa atau ternyata telah dianggap menjadi residen suatu negara lain karena presensinya (time test) di negara lain tersebut telah memenuhi syarat untuk dianggap sebagai residen menurut UU pajak domestic negara lain tersebut. Inilah yang disebut dengan dual residence, satu subjek pajak dianggap emnjadi residen di kedua negara berdasarkan UU pajak domestic masing-masing negara. Bila kedua negar atelah mengadakan tax treaty (P3B), maka solusi atas status residen ini dipecahkan menurut tax treaty. 

Tax Treaty bersifat lex spesialis terhadap UU PPh, dengan demikian status residen menurut UU PPh menjadi gugur. Tax treaty, tepatnya pasal 4 (2) P3B, inilah yang dapat digunakan oleh TKI untuk melepas status residen Indonesia, walaupun UU PPh tetap menganggap sebagai residen Indonesia.

Pasal 4 ayat (1) OECD Model menyebutkan definisi “resident of a contracting state” diambil dari konsep “residence” dalam UU pajak domestic. Ktiteria subjek pajak dapat dianggap sebagai “residen” menurut UU domestic adalah karena domisili, residence, place of management, atau kriteria lainnya. Subjek pajak akan dianggap sebagai residen suatu negara apabila ia fullyliable to tax di negara tersebut berdasarkan UU Pajak domestiknya.

Baca Juga  Pemerintah Inggris Pangkas Pajak Asuransi untuk Kelas Pekerja

Ciri-ciri pengenaan pajak terhadap residen adalah dikenakan pajak dengan prinsip worldwide income. Subjek pajak tidak akan dianggap sebagai residen bila dikenakan pajak hanya objek pajak yang bersumber di negara tersebut. Dengan kata lain, Bentuk Usaha Tetap yang hanya dikenakan pajak di Indonesia atas objek yang bersumber di Indonesia tidak dianggap sebagai “residen” Indonesia, tetapi tetap dianggap sebagai Subjek Pajak Luar Negeri berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UU PPh.

Pasal 4 ayat (2) P3B mengatur tie breaker rule, yaitu kriteria penentu residen terhadap subjek pajak yang dianggap sebagai residen. Demikian pula konsekuensi pajak berubah mengikuti perubahan status residen.

Jika status residen belum dapat ditentukan karena individu tersebut memiliki permanent home di kedua negara dan tidak dapat ditentukan centre of vital interest-nya atau dapat pula individu tersebut tidak mempunyai permanent home di kedua negara, maka penetuan residen menggunakan kriteria habitual abode, yaitu di negara mana ia lebih sering tinggal, baik di permanent home atau tempat lainnya, dan untuk tujuan apapun. Tidak ditentukan berapa lama individu tersebut harus berada. Jadi, benar-benar dihitung berapa lama keberadaan individu di negara tersebut.

Baca Juga  Jelang Lebaran, DJP Imbau Wajib Pajak Tidak Berikan Parsel

Jika habitual abode tidak juga ditentukan, maka kewarganegaraan menjadi penetu status residen. Bagi negara Amerika Serikat, penentuan syarat kewarganegaraan menjadi sangat penting sesuai dengan asas kewarganegaraan yang dianutnya dalam penetuan pengenaan pajak. jika tidak juga dapat ditentukan, maka penetuan residen dilakukan oleh otoritas pajak kedua negara dengan melakukan mutual agreement sebagaimana diamanatkan pada Pasa 25 OECD Model Tax Convention. 

Dalam memecahkan masalah dual residence ini, para pejabat berwewenang (DJP dan tax authority of treaty partner) kedua negara harus melihat keseluruhan keadaan dan kegiatan subjek pajak tersebut, seperti keluarga dan kehidupan sosialnya, pekerjaan atau kegiatan usahanya. Tidak ada ukuran pasti atau petunjuk pelaksanaan yang jelas tentang penentuan residen berdasarkan P3B ini, apalagi untuk mengetahui kepentingan subjek pajak. begitupula tidak ada aturan tentang keharusan memboyong kekuarga sebagai syarat residen, meskipun keberadaan keluarga menjadi indikasi kuat negara tempat permanent home, habitual abode, dan centre of vital interest-nya.

Perlu digarisbawahi, bahwa yang dimaksud tes permanent home adalah tes di negara mana ada tempat yang diatur sebagai tempat tinggal secara terus-menerus. Permanet Home dapat berupa hak milik atau sewa. Rumah/hotel/ apartemen yang digunakan hanya untuk perjalana bisnis tidak termasuk permanent home. Meski tidak ada aturan tentang keharusan memboyong keluarga sebagai syarata permanent home, tetapi menjadi indikasi kuat mengenaik tempat yang diatur untuk ditinggali secara-terus menerus.

Baca Juga  Kanwil DJP Jaktim Kenalkan Proses Bisnis “Core Tax” ke IKPI

Tes centre of vital interest bukan hanya dilihat dari kepentingan ekonomi (pendapatan), tetapi juga harus dilihat dari kepentingan personal (hubungan pribadi). Istilah hubungan pribadi meliputi semua aspek kehidupan subjek pajak bersangkutan, termasuk kehidupan keluarga, sosial, politik, dan budaya. Bila hubungan pribadi lebih dekat ke suatu negara, sedangakn hubungan ekonomi lebih dekat ke negara lainnya, maka faktor yang menentukan adalah salah satu dari kedua negara tersebut yang lebih berarti bagi subjek pajak. Dengan demikian, negara tempat keluarganya berada menjadi pertimbangan atau indikasi kuat di mana centre of vital WINI tersebut.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *