“Kisruh” Penafsiran Tarif PPN 12 Persen
Menurut Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakun, tidak ada larangan dalam Pasal 7 UU PPN (yang diubah melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan Tahun 2021) mengenai tarif PPN yang menggunakan multitarif. Oleh karena itu, penerapan tarif PPN sebesar 11 persen dan 12 persen dapat diterapkan secara bersamaan. Tarif 11 persen diberlakukan untuk barang yang tidak mengalami kenaikan, sedangkan tarif 12 persen diberlakukan untuk barang mewah (Detik News, 3/1/2025).
Menilik sejarah, sejak lahirnya UU PPN pada tahun 1983 (reformasi pajak pertama), ciri atau karakteristik PPN di Indonesia adalah penggunaan tarif tunggal (single tarif) sebesar 10 persen. Namun, secara khusus, ekspor dikenakan tarif PPN sebesar 0 persen untuk memenuhi prinsip destinasi (destination principle), karena hasil ekspor akan dikonsumsi di luar daerah pabean. Selain itu, sebelum berlakunya UU HPP, telah dikenal Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain yang tetap menggunakan tarif tunggal. Penggunaan DPP nilai lain bukanlah hal baru dalam praktik perpajakan.
Kebijakan penyesuaian DPP nilai lain yang menggunakan rumus 11/12 dikali harga jual BKP/nilai penggantian JKP adalah upaya yang konsisten dalam menjaga tarif tunggal sebesar 12 persen sebagaimana karakteristik PPN di Indonesia. Namun, kebijakan ini memiliki implikasi pada perhitungan yang menjadi agak rumit dan membingungkan bagi masyarakat awam.
Ciri atau karakteristik PPN di Indonesia selain menggunakan tarif tunggal adalah:
- Pajak tidak langsung (pembayar dan penyetor berbeda karena beban pajak dialihkan ke konsumen akhir).
- Pajak objektif (tidak mempertimbangkan subjek pajak).
- Pajak atas konsumsi (dikenakan pada konsumsi dalam negeri).
- Bersifat multi-stage levy (dipungut di setiap tahap jalur atau mata rantai produksi dan distribusi).
- Menggunakan indirect subtraction method (perhitungan PPN dilakukan secara tidak langsung dengan mekanisme pengkreditan pajak masukan atas BKP/JKP yang berbeda).
Pasal 7 ayat 3 UU PPN menyatakan bahwa tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Jika ingin menetapkan tarif tetap sebesar 11 persen, hal ini harus diatur melalui Peraturan Pemerintah. Namun, opsi tersebut tidak dapat dilakukan karena pengaturan pada Pasal 7 ayat 3 UU PPN ini hanya dapat dilakukan dalam rangka penyusunan APBN dan harus disampaikan terlebih dahulu kepada DPR untuk disepakati dalam APBN tersebut.
Menurut Penulis, penafsiran Pasal 7 UU PPN yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 (PMK 131/2024) bukanlah suatu kesalahan. Namun, terbitnya PMK 131/2024 tersebut sangat mendekati batas waktu, yakni hanya beberapa jam sebelum pergantian tahun. Hal ini menyulitkan para pelaku usaha, mengingat transaksi bisnis pada tanggal 1 Januari 2025 tetap berlangsung meskipun merupakan hari libur. Selain itu, berbagai wacana sebelumnya, seperti kebijakan PPN Ditanggung Pemerintah sebesar 1 persen, semakin menambah kebingungan di kalangan pengusaha.
Penulis: Suwardi Hasan merupakan Ketua Dept FGD IKPI, Advokat dan Konsultan Pajak Firma BNK Artikel merupakan pendapat pribadi.
Comments