in ,

Prospek Investasi Tahun 2023 Masih Menjanjikan

prospek investasi tahun 2023
FOTO : IST

Prospek Investasi Tahun 2023 Masih Menjanjikan

Pajak.com, Jakarta – Tahun 2023 mendatang banyak pihak memprediksi ekonomi global berada dalam ketidakpastian akibat resesi. Namun, menurut PT BNP Paribas Asset Management (PT BNP Paribas AM), prospek investasi tahun 2023 tetap menjanjikan.

Menurut Direktur PT BNP Paribas AM Djumala Sutedja, ada banyak alasan untuk tetap optimistis terhadap kondisi pasar pada tahun 2023. Pertama,  resiliensi Indonesia yang kembali akan diuji oleh berbagai dinamika; mulai dari proyeksi pelambatan ekonomi dunia, pengetatan kebijakan moneter, hingga persiapan menuju perekonomian Indonesia yang lebih berkelanjutan. Kedua, iklim politik Indonesia pun diproyeksikan akan menjadi salah satu katalis penentu pasar dan arus investasi di Indonesia, menjelang Pemilu di tahun 2024.

Ketiga, di tengah meningkatnya risiko ketidakpastian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh di atas 5 persen selama tiga triwulan berturut-turut di tahun 2022 ini. Resiliensi ini juga terlihat nyata dari kinerja pasar saham dan obligasi Indonesia maupun nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang lebih baik dibandingkan dengan negara berkembang lainnya.

Menurut Djumala, perekonomian Indonesia sepanjang 2022 ini ibarat perahu di tengah badai yang datang dari volatilitas global yang tinggi. Meskipun masyarakat tidak dapat mengendalikan badai, mereka bisa mengendalikan dan menavigasi stabilitas perahunya melalui stabilitas politik, sosial-ekonomi, dan juga makroekonomi.

Baca Juga  “Tips” Kelola THR Agar Tidak Habis Begitu Saja

“Kami melihat para nakhoda perahu Indonesia,  dalam hal ini pemerintah, mampu menavigasi perahu dengan baik,” kata Djumala  dalam pemaparan outlook investasi 2023 secara daring dengan tema ‘Defining the Road to Resilience’ di Jakarta, Kamis (22/12/22).

Djumala menjelaskan, secara umum, sentimen global akan banyak memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia termasuk kondisi geopolitik antara Rusia-Ukraina dan AS-Cina, perubahan terhadap kebijakan Zero COVID di Cina, serta inflasi yang masih tinggi terutama pada harga energi dan pangan. Selain itu, kemungkinan terjadinya resesi di sejumlah negara maju juga berpotensi membawa dampak bagi pergerakan pasar dalam hal appetite pasar terhadap aset berisiko seperti saham hingga ekspektasi pasar terhadap kebijakan moneter bank sentral.

Namun, Djumala melihat bahwa kontribusi ekonomi domestik melalui konsumsi rumah tangga yang cukup tinggi serta swasembada pangan membuat kondisi Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan negara lain. Ia juga menekankan, inisiatif pemerintah untuk hilirisasi industri dapat berdampak positif Foreign Direct Investment atau Penanaman Modal Asing dalam jangka waktu yang relatif singkat dan meningkatkan export base Indonesia untuk jangka panjangnya.

Sementara itu, faktor domestik yang juga akan berperan adalah iklim politik dalam negeri menuju Pemilu 2024 serta kelanjutan dari komitmen Indonesia menuju ke arah perekonomian yang lebih berkelanjutan dan inklusif.

Baca Juga  Navigasi Keuangan Keluarga di Era Kenaikan Harga Pangan

Djumala menjelaskan, PT BNP Paribas AM melihat beberapa manfaat besar yang dapat mendukung Indonesia menuju perekonomian yang lebih hijau dan berkelanjutan. Salah satunya terkait dengan agenda transisi menuju energi terbarukan dengan muncul inisiatif dari beberapa negara maju untuk membantu pembiayaan proyek renewable energy dalam jangka menengah hingga panjang. Hal ini akan membantu reformasi energi di Indonesia Untuk melihat outlook pasar saham Indonesia, Djumala menyampaikan untuk jangka panjang, puhaknya memilih untuk fokus pada sektor-sektor yang menunjang pembangunan green economy

“Kami juga lebih konstruktif pada sektor-sektor yang berkaitan dengan pemilu yang akan datang seperti konsumsi. Namun di lain sisi, investor juga perlu mencermati lebih lanjut sektor komoditas, mengingat sektor tersebut telah cenderung overcrowded.”

Sementara itu di pasar obligasi, secara agregat Djumala melihat bahwa tahun 2023 adalah tahun yang lebih baik untuk pasar obligasi. Inflasi diharapkan sudah mulai turun dan kebijakan suku bunga di banyak negara sudah mencapai puncaknya. Namun. Djumala masih melihat beberapa tantangan terutama pada kuartal awal di tahun depan akibat ketidakpastian akan kapan kenaikan suku bunga mencapai puncaknya. Jika kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS) yang kian agresif ini mengakibatkan resesi di AS, investor perlu mengantisipasi gejolak pasar, baik di pasar obligasi maupun Rupiah.

Baca Juga  KEK Likupang Siap Hadirkan “Sustainable Tourism”

Namun, reaksi pasar obligasi Indonesia diperkirakan akan lebih bagus dibandingkan dengan siklus sebelumnya berkat dukungan kondisi eksternal fundamental yang relatif lebih baik. Jika dibandingkan kinerja pasar obligasi dengan siklus sebelumnya seperti tahun 2018, ketika suku bunga global juga sedang naik, depresiasi nilai tukar rupiah mencapai lebih dari 10 persen, Smentara hasil obligasi Indonesia pada saat itu mencapai hampir 9 persen. Sementara saat ini, rupiah tidak hanya berkinerja lebih baik dari negara-negara di Asia.

Dengan demikian, tingkat volatilitas yield obligasi pun lebih kecil dibanding negara lain. Namun, untuk posisi taktis jangka pendek, Djumala mengaku lebih memilih strategi investasi yang fokus pada income generation dibandingkan duration. Ketika outlook kebijakan suku bunga dan pertumbuhan ekonomi global sudah menunjukkan tren yang lebih stabil, maka barulah investor dapat beralih ke strategi yang sifatnya mengarah pada pengambilan risiko durasi.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *