in ,

Tiga Sumber Pertumbuhan Baru Setelah Pandemi

Tiga Sumber Pertumbuhan Baru Setelah Pandemi
FOTO: IST

Tiga Sumber Pertumbuhan Baru Setelah Pandemi

Pajak.com, Bali – Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menilai, saat ini Indonesia mulai masuk dalam periode pemulihan pascapandemi COVID-19. Pemerintah pun mulai terlihat tiga sumber pertumbuhan baru setelah pandemi, yakni digitalisasi, ekonomi hijau, serta pelaksanaan agenda Sustainable Development Goals (SDGs).

Pertama, ekonomi digital. Sektor ini merupakan salah satu lini fundamental yang terus menjadi sumber pertumbuhan baru di Indonesia. Kementerian keuangan mencatat, nilai ekonomi digital di tanah air tumbuh 20 persen pada tahun 2021 dan diproyeksi meningkat menjadi 146 miliar dollar pada tahun depan. Google, Temasek, serta Bain and Company dalam laporan e-Conomy SEA 2022 menyebut, nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 77 miliar dollar pada 2022 atau meningkat 22 persen dari tahun sebelumnya.

“Ekonomi digital di dua tahun terakhir masa pandemi membuka mata kita bahwa digital akan bersama kita dan menjadi sumber penting pertumbuhan ekonomi di masa depan. Kami mampu menjaga pertumbuhan ekonomi kami dalam dua atau tiga tahun terakhir dengan digitalisasi,” jelas Sua saat memberikan keynote speech di acara 11th Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED) di Bali, yang dituangkan dalam keterangan tertulis (7/12).

Baca Juga  Jelajah Hemat Jakarta: Libur Lebaran nan Ramah di Kantong

Untuk itu, pemerintah telah melakukan kebijakan untuk pengembangan ekonomi digital, baik dalam bidang pemerintahan, pendidikan, kesehatan, perdagangan dan perindustrian, administrasi kependudukan, hingga sektor keuangan.

Kedua, ekonomi hijau. Transisi menuju ekonomi hijau tidak hanya tentang membangun energi baru terbarukan tetapi juga komitmen Pemerintah Indonesia untuk mempensiun dinikan pembangkit listrik tenaga batu bara.

“Logika green economy menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru karena Indonesia berhasil mengembangkan mekanisme Energy Transition Mechanism (ETM). ETM mempunyai dua pilar aktivitas yang besar, yakni mengurangi kegiatan yang menghasilkan emisi karbon dan membangun pembangkit listrik yang berbasiskan energi baru terbarukan. Pengurangan kegiatan yang dapat menghasilkan emisi karbon dilakukan melalui pengurangan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara,” jelas Sua.

Kendati demikian, meski mengurangi penggunaan batu bara, bukan berarti pemerintah menutup dan meninggalkan pembangkit listrik itu karena masih ada keterikatan dengan peraturan perundang-undangan.

“Kalau mengurangi bagaimana, pak? Bisa kita kurangi umur dari  pembangkit listrik tenaga batu bara tersebut yang masih 20 tahun lagi, kita kurangi 10 tahun saja deh, yang 10 tahunnya lagi kami tetap kompensasi,” kata Sua.

Baca Juga  Panduan Mudah Tukar Uang Baru dengan Aplikasi PINTAR

Sementara itu, untuk membangun energi baru terbarukan berarti mengembangkan sumber pertumbuhan ekonomi baru dengan potensi yang sebelumnya tidak dimanfaatkan. Indonesia memiliki potensi EBT yang cukup besar, diantaranya mini/micro hydro sebesar 450 megawatt (MW), biomassa 50 gigawatt (GW), energi surya 4,80 kilowatt-jam (kWh)/m2/hari, energi angin 3-6 meter/detik, dan energi nuklir 3 GW.

Selain itu, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Baru Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik sebagai salah satu upaya menarik lebih banyak investasi dalam pengembangan sektor ini. Tidak hanya mengatur pemanfaatan energi terbarukan dari segi harga, mekanisme, serta pengadaan, regulasi juga spesifik mengatur transisi energi di sektor ketenagalistrikan.

Maka, dalam jangka pendek, Pemerintah Indonesia telah menerapkan beberapa strategi, yakni membangun kapasitas energi baru terbarukan berdasarkan Rencana Pengembangan Ketenagalistrikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), implementasi pembangkit tenaga listrik surya (PLTS) atap, konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), pemanfaatan wajib bahan bakar nabati, eksplorasi panas bumi, dan lainnya.

“Maka, hal ini perlu strategi yang berkelanjutan menuju transisi yang adil. Kita keluar dari paradigma lama, dimana green kadang-kadang dianggap memiliki trade-off dengan growth. Green dan economic growth tidak trade-off, dia komplemen. Green menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru,” ujar Sua.

Baca Juga  Pemerintah dan WRI Indonesia Susun Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Nikel

Ketiga, implementasi dan upaya untuk mencapai tujuan SDGs akan melahirkan potensi ekonomi baru yang lebih berkelanjutan. Khususnya, hubungan antara ekonomi dan kesehatan, pariwisata, usaha mikro kecil menengah (UMKM), dan lainnya.

“Kami melihat upaya untuk mencapai tujuan SDGs membuka ruang-ruang pertumbuhan baru. Maka, saya berharap bahwa sesi-sesi dalam AIFED ke-11 ini dapat mengelaborasinya lebih jauh dan kita akan sampai pada pemahaman baru tentang pertumbuhan ekonomi pascapandemi COVID-19,” harap Sua.

Sebagai informasi, AIFED merupakan forum internasional tahunan yang mewadahi akademisi, ekonom, profesional, dan pembuat kebijakan dalam satu platform untuk mendiskusikan tantangan dan solusi kebijakan pembangunan.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *