in ,

Beda Tax Avoidance, Tax Planning dan Tax Evasion

Tax Planning dan Tax Evasion
FOTO: IST

Beda Tax Avoidance, Tax Planning dan Tax Evasion

Beda tax avoidance, tax planning dan tax evasion. Dalam menjalankan aktivitas komersial, setiap orang maupun perusahaan tentu berorientasi untuk mencari keuntungan atau laba sebesar – besarnya.

Demi mencapai tujuan ini, banyak cara yang dilakukan, salah satunya adalah meminimalisir beban atau biaya yang ditanggung. Faktanya pajak merupakan salah satu beban atau biaya, sehingga tentu Wajib Pajak akan mengupayakan seminimal mungkin beban pajak yang ditanggung.

Untuk meminimalkan beban pajak, terdapat beberapa cara yang ditempuh Wajib Pajak di berbagai negara. Secara garis besar terdapat tiga istilah yang umum dalam dunia perpajakan, yakni tax avoidance, tax planning, dan tax evasion.

1. Tax Avoidance

Tax avoidance atau penghindaran pajak merupakan sebuah praktik yang dilakukan untuk meminimalkan beban pajak yang ditanggung dengan memanfaatkan celah (loophole) dari ketentuan perpajakan suatu negara.

Mengutip laman DJP, adanya celah dalam undang – undang perpajakan membuat praktik tax avoidance seringkali dilakukan Wajib Pajak. Praktik ini tidak melanggar isi atau ketentuan dari undang – undang dan masih berada dalam koridor hukum, tapi tidak sejalan dengan tujuan dan maksud dibuatnya undang – undang tersebut.

Di berbagai negara, tax avoidance dibagi menjadi 2 yakni acceptable tax avoidance dan unacceptable tax avoidance. Penafsiran masing – masing negara pun bisa jadi berbeda terkait kedua jenis ini.

Berikut adalah beberapa contoh penerapan tax avoidance:

– Melakukan pinjaman dalam jumlah besar ke pihak tertentu, namun bukan sebagai modal yang digunakan untuk operasional. Sehingga seakan – akan membuat beban perusahaan bertambah dan berkurang.

Baca Juga  Ayo Lapor SPT! Pahami Risiko Kesalahan dan Solusinya dari PakarPajak

– Memecah omzet dari usaha menjadi bagian – bagian kecil usaha. Hal ini dilakukan supaya tetap mencapai batasan omzet demi memanfaatkan ketentuan PPh final PP nomor 23 tahun 2018.

– Seorang pegawai meminta kepada kantor atau perusahaan untuk membayarkan sebagian gaji dan tunjangannya yang cukup besar dalam bentuk lain, yakni dalam bentuk beasiswa atau natura.

2.  Tax Planning

Tax planning atau perencanaan pajak adalah sebuah upaya meminimalkan pajak yang terutang dengan menggunakan cara dan strategi yang jelas – jelas diatur dan diperbolehkan menurut peraturan perpajakan. Karena telah jelas diatur dan diperbolehkan, maka praktik ini tidak akan menimbulkan sengketa antara Wajib Pajak dan otoritas pajak.

Menurut Hoffman (1961) dalam Wildan Taufik (2014), tax planning adalah suatu kapasitas yang dimiliki oleh Wajib Pajak untuk menyusun aktivitas keuangan guna mendapatkan pengeluaran (beban) pajak yang minimal. Tax Planning dikenal juga sebagai effective Tax Planning, yakni usaha Wajib Pajak untuk melakukan penghematan pajak (tax saving) melalui prosedur penghindaran pajak (tax avoidance) secara sistematis sesuai ketentuan UU Perpajakan.

Tax planning dapat dilakukan melalui 2 cara, yakni substantive tax planning dan formal tax planning. Substantive tax planning adalah mengubah substansi dari suatu transaksi dalam rangka mencari beban pajak paling rendah. Dalam perpajakan internasional, cara yang dapat dilakukan adalah memindahkan subjek pajak, objek pajak, atau keduanya ke negara – negara pengampu pajak atau negara yang memberikan keringanan pajak atas suatu jenis penghasilan atau transaksi.

Sedangkan formal tax planning adalah memilih mana bentuk formal transaksi yang memberikan beban pajak paling rendah dengan tetap mempertahankan substansi ekonominya.

Baca Juga  IKAPRAMA Bantu Wajib Pajak Terhindar dari Sanksi Keterlambatan SPT

3. Tax Evasion

Tax evasion merupakan praktik meminimalisir beban pajak dengan cara ilegal, yakni melanggar peraturan perpajakan. Tax evasion dapat terjadi karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan perpajakan, atau memang karena keengganan memenuhi kewajiban perpajakan. Tax evasion dikenal juga dengan penggelapan pajak

Sebagaimana selayaknya sebuah pelanggaran, maka akan ada hukuman yang menanti. Hukuman ini dapat berbentuk sanksi administrasi atau sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU KUP.

Adapun contoh – contoh tax evasion diantaranya adalah:

– Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak dan/atau bukti setoran pajak yang Tidak Berdasarkan Transaksi yang Sebenarnya (TBTS).

– Melaporkan SPT yang isinya tidak benar, misalnya dengan cara melaporkan biaya – biaya yang sifatnya fiktif, atau tidak melaporkan sebagian atau seluruh penghasilannya.

– Melakukan pembukuan palsu atau dipalsukan namun seolah – olah benar, sehingga tidak menggambarkan keadaan sebenarnya.

Hubungan tax avoidance, tax planning, dan tax evasion

Ketiga praktik diatas sama – sama merupakan upaya dari Wajib Pajak untuk meminimalkan beban pajak yang harus dibayarkan. Namun ketiga praktik ini berbeda dari segi hukum dan perlakuannya.

Tax planning merupakan praktik yang paling ‘halus’ karena memang jelas diperbolehkan dan tidak menimbulkan sengketa dengan otoritas pajak setempat. Tax avoidance pun masih diperbolehkan dan tidak melanggar ketentuan peraturan perpajakan, namun pada praktiknya bisa jadi akan menimbulkan sengketa dengan otoritas pajak. Hal ini karena tax avoidance tidak sejalan dengan maksud dan tujuan dari ketentuan peraturan perundang – undangan, yang pada praktiknya mungkin akan terdapat beda penafsiran antara Wajib Pajak dan otoritas pajak.

Baca Juga  Jenis-Jenis Koreksi Harga dalam Praktik “Transfer Pricing”

Yang terakhir, tax evasion merupakan praktik yang paling ‘kasar’ karena jelas melanggar peraturan perpajakan. Praktik ini pun menghadirkan risiko dan hukuman yang berat bagi para pelakunya, tak seperti kedua praktik yang sebelumnya dijalankan.

Pengaturan di Indonesia

Untuk tax evasion yang notabene merupakan pelanggaran perpajakan telah diatur dalam UU KUP, yakni tentang ketentuan sanksi pidana dan juga sanksi administrasi. Namun untuk tax avoidance dan tax planning, belum ada ketentuan khusus yang mengatur secara jelas dan gamblang. Sehingga dalam praktiknya seringkali terdapat sengketa berkepanjangan antara Wajib Pajak dan otoritas pajak karena perbedaan penafsiran peraturan perpajakan.

Namun untuk beberapa jenis transaksi dan mekanisme penghindaran pajak telah diatur dalam UU dan peraturan teknis. Diantaranya adalah:

– Transfer pricing, yakni kebijakan perusahaan menentukan harga transfer dari sebuah transaksi. Diatur dalam pasal 18 ayat 3 UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 22 tahun 2020.

– Thin Capitalization, yakni mekanisme mengurangi beban pajak dengan memperbesar pinjaman atau hutang. Diatur dalam Pasal 18 ayat 1 UU PPh dan PMK nomor 169 tahun 2015.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *