in ,

Prospek Makroekonomi Indonesia Menjanjikan

Selain tantangan distribusi pangan, pasar berkembang (emerging market) juga mengalami tantangan lain dalam 35 tahun terakhir. Setiap kali AS menaikkan tingkat suku bunga maka menyebabkan volatilitas dan pasar global menekan mata uang, perekonomian negara yang bergantung pada aliran modal global menjadi sulit karena tingkat suku bunganya mengikuti tren global.

“Saat ini ekonomi Asia memiliki cadangan devisa yang jauh lebih tinggi dan luas serta defisit ekonomi yang lebih rendah, sehingga membuat Asia lebih siap menaklukkan tantangan perekonomian yang kompleks,” ujar Taimur.

Pada Mei 2022 lalu, Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan suku bunga. Taimur menganggap langkah ini tidak menjadi persoalan, mengingat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) stabil, dan Indonesia sejauh ini tidak menghadapi kesulitan pangan yang di luar kendali. Secara keseluruhan, meskipun tingkat suku bunga di AS naik, hal ini tidak berpengaruh terhadap volatilitas rupiah. Alasannya, Indonesia telah memiliki eksposur terhadap banyak komoditas, dan harga komoditas yang tinggi pun tersedia di Indonesia. Kendati Indonesia juga pernah mengalami beberapa masalah krisis pangan global, tetapi di saat yang bersamaan, diimbangi juga dengan ekspor gas dan minyak.

Baca Juga  Airlangga Ungkap Dampak Eskalasi Konflik Iran - Israel bagi Perekonomian Nasional

Dari berbagai perspektif, cepat atau lambat, menurut Taimur ada banyak risiko yang mengintai Indonesia, tetapi tidak segenting negara lain, di mana inflasi dan risikonya jauh lebih terkendali, sehingga bisa dikatakan prospek Indonesia berjalan baik dan mampu mencapai target. Berdasarkan atas basis historis, DBS menganalisis ekonomi Indonesia yang tumbuh 4,5 dan 4,8 persen sepanjang tahun ini tidak serta-merta bergantung pada apa yang terjadi di AS atau Tiongkok, berbeda dengan negara lain di Asia yang merasakan dampaknya. Sebaliknya, kondisi Indonesia lebih menitikberatkan pada ekonomi domestik pascapandemi yang kini mulai bangkit kembali.

Taimur juga menilai, penerapan kebijakan pemerintah menaikkan pajak di Indonesia pada April 2022 lalu sudah tepat. Rasio digit Indonesia berdasarkan perbandingan internasional sangat rendah dibandingkan AS yang hampir menyentuh 100 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dan India sebesar 70 persen dari PDB. Sedangkan, Indonesia bahkan tidak menyentuh 40 persen dari PDB. Sejak krisis finansial yang terjadi pada 1997-1998, Indonesia sangat konservatif dalam hal pemberlakuan perusahaan induk (public sector holding) dan defisit fiskal. Negara-negara yang memperhitungkan PDB sebagian besar memiliki defisit PDB kisaran 4-6 persen. Dengan perspektif tersebut, defisit tahunan Indonesia dapat terbilang sangat rendah.

Baca Juga  Sri Mulyani: Pertumbuhan Ekonomi Digital di ASEAN Diproyeksi 2 Triliun Dollar AS

“Pada dua tahun terakhir, 10-15 persen defisit, dibandingkan dengan Indonesia, sangatlah rendah. Hal ini memberi sinyal bahwa memasuki tahun 2020 ke depan, ada banyak negara di dunia yang mengkhawatirkan defisit fiskal,” ungkap Taimur.

Ditulis oleh

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *