in ,

PMI Manufaktur Indonesia Alami Kontraksi Empat Bulan Berturut-turut

PMI Manufaktur Indonesia Kontraksi
FOTO: IST

PMI Manufaktur Indonesia Alami Kontraksi Empat Bulan Berturut-turut

Pajak.com, Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan bahwa, Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Oktober 2024 mencatat angka 49,2, menunjukkan bahwa sektor manufaktur masih berada dalam fase kontraksi.

Menurut laporan S&P Global, ini adalah bulan keempat berturut-turut PMI manufaktur Indonesia berada di bawah level 50, yang menandakan berlanjutnya penurunan output dan pesanan baru.

Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif, menanggapi kondisi ini dengan menyebut bahwa kontraksi PMI manufaktur dipengaruhi oleh kebijakan impor yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 (Permendag 8/2024). “PMI Indonesia bulan Oktober 2024 oleh S&P Global merupakan bukti konkrit dampak dari Permendag 8/2024,” kata Febri di Jakarta pada Jumat (1/11).

Baca Juga  Cadangan Devisa Indonesia Naik Jadi 151,2 Miliar Dollar AS per Oktober 2024

Permendag No. 8/2024 menghilangkan aturan penerbitan Persetujuan Teknis (Pertek) dari Kemenperin bagi produk pakaian jadi. Akibatnya, pasar Indonesia semakin terbuka terhadap produk jadi impor, yang memengaruhi persaingan bagi produk-produk manufaktur dalam negeri. Dari 518 komoditas yang impornya dilonggarkan, sekitar 88,42 persen atau 458 komoditas adalah produk jadi yang sejatinya sudah dapat diproduksi oleh industri domestik.

Febri menekankan bahwa kebijakan tersebut tidak mensyaratkan Pertek atau rekomendasi impor, sehingga produk tekstil dan produk jadi lainnya semakin mudah masuk ke pasar Indonesia. “Jadi, kami mempertanyakan pernyataan Menteri Perdagangan bahwa Permendag No. 8/2024 bertujuan melindungi industri dalam negeri, terutama industri tekstil. Fakta yang terjadi justru sebaliknya,” jelas Febri.

Baca Juga  Utang Luar Negeri Indonesia Naik 8,3 Persen, Tembus 427,8 Miliar Dollar AS pada Kuartal III-2024

Febri menambahkan, Kemenperin tidak bisa menjaga iklim bisnis sektor manufaktur sendirian, mengingat pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 7-8 persen yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto juga bergantung pada kebijakan lintas kementerian. “Kebijakan kementerian/lembaga lain sangat menentukan kinerja manufaktur,” tegasnya.

Kemenperin meminta kementerian/lembaga (K/L) lain untuk mengurangi ego sektoral dan mendukung kebijakan yang berdampak positif bagi pertumbuhan industri dalam negeri. “Kemenperin sudah menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai Pembina Industri demi mendongkrak pertumbuhan sektor ini,” tutur Febri.

Febri juga menyoroti pentingnya penerapan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) bagi produk pakaian jadi sebagai salah satu langkah konkret dalam melindungi pasar domestik. Sebelumnya, Kemenperin sudah mengusulkan pemberlakuan BMTP dan membahasnya dalam pertemuan di Bandung, namun belum mendapat persetujuan dari K/L terkait. “Sektor industri benar-benar membutuhkan perlindungan pada pasar produk jadi atau produk hilir,” ungkap Febri.

Baca Juga  OECD Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Capai 5,2 Persen di 2025

Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan urgensi tindakan nyata untuk membantu sektor manufaktur dalam negeri tetap bertahan di tengah tekanan dari produk impor. “Sehingga perlu segera ada tindakan nyata agar industri manufaktur bisa bertahan,” pungkas Febri.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *