Menu
in ,

Perekonomian Sri Lanka, Ancaman Kebangrutan 9 Negara

Perekonomian Sri Lanka

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Dunia dihantui kekhawatiran akan kebangkrutan, terlebih setelah Sri Lanka mengalami gagal bayar utang (default) dan meroketnya inflasi hingga mencapai 50,4 persen. Keterpurukan ekonomi itu memantik kerusuhan yang mengakibatkan kehancuran kepemimpinan Presiden Gotabaya Rajapaksa. Ternyata, tidak hanya Sri Lanka, berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bertajuk Global Crisis Response Group, ada sembilan negara yang juga terancam kebangkrutan. Sembilan negara itu, yakni Afghanistan, Argentina, Mesir, Laos, Lebanon, Myanmar, Pakistan, Zimbabwe, dan Turki. Lantas, apa indikator sebuah negara dinyatakan akan mengalami kebangkrutan?

Dalam laporan Global Crisis Response Group, PBB juga mencatat, ada sekitar 1,6 miliar orang di 94 negara yang menghadapi setidaknya satu kasus krisis pangan, energi dan sistem keuangan. Kemudian, sekitar 1,2 miliar dari mereka tinggal di negara-negara yang tengah mengalami badai ekonomi dan sangat rentan terhadap krisis biaya hidup.

Meskipun krisis ekonomi yang dihadapi setiap negara ini berbeda-beda, namun benang merah keterpurukan dipicu oleh inflasi yang tinggi. Penyebab inflasi pun bervariasi, tetapi sebagian besar diakibatkan oleh melonjaknya biaya pangan bahan bakar karena pandemi dan konflik Rusia-Ukraina. Seperti diketahui, Rusia dan Ukraina merupakan negara pemasok energi dan bahan baku pupuk, sementara Ukraina adalah importir terbesar gandum. Konflik yang terjadi sejak awal tahun 2022 ini membuat pasokan komoditas itu terhambat.

Selain itu, tingginya inflasi juga diakibatkan oleh pandemi COVID-19. Di tahun 2020, perekonomian global nyaris berhenti karena banyak negara menerapkan kebijakan lockdown. Vaksinasi pun gencar dilakukan sehingga penambahan kasus baru menurun drastis, lockdown dicabut, pembatasan sosial tidak lagi ketat, kehidupan masyarakat perlahan kembali normal. Dalam masa transisi ini bukan berarti membuat ekonomi pulih secara otomatis. Permintaan (demand) meningkat, belum mampu diimbangi dengan penawaran (supply). Sesuai hukum ekonomi, ketika demand lebih tinggi dari supply, maka inflasi pun terjadi.

Sri Lanka mencatatkan inflasi yang meroket 54,6 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2021, menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah negara yang dikenal dengan sebutan Ceylon ini. Di sisi lain, utang Sri Lanka tercatat lebih dari 51 miliar dollar atau sekitar Rp 748 triliun. Parahnya lagi, Sri Lanka gagal bayar utang jatuh tempo kepada kreditor sebesar 78 juta dollar AS atau setara Rp 1,1 triliun. Sekilas mengenang, kondisi itu mengingatkan pada krisis moneter di Indonesia 1997-1998, yakni inflasi mencapai 77,63 persen dengan utang sebesar 68,7 miliar dollar AS (rasio utang mencapai 57,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto/PDB).

Saat ini sembilan negara versi PBB mengalami inflasi maupun kondisi gagal bayar utang yang hampir serupa dengan Sri Lanka. Mari kita telisik bersama.

1. Afghanistan

Afghanistan telah dilanda dari krisis ekonomi sejak Taliban mengambil alih negara, setelah Amerika Serikat (AS) dan NATO menarik pasukan di tahun lalu. Bantuan asing yang telah lama menjadi andalan berhenti datang sejak penarikan pasukan AS, diikuti oleh sanksi, pemberhentian transfer bank melumpuhkan perdagangan. Meski belum ada data resmi inflasi di Afghanistan, PBB tetap menilai, negara ini terancam mengalami kebangkrutan karena beragam faktor itu.

Secara spesifik, Presiden AS Joe Biden membekukan cadangan mata uang asing Afghanistan sebesar 7 miliar dollar AS yang disimpan di AS. Masalah negara semakin rumit karena sekitar setengah dari 39 juta penduduk Afghanistan menghadapi tingkat kerawanan pangan yang mengancam jiwa. Bahkan, sebagian besar pegawai negeri, termasuk dokter, perawat, dan guru, tidak dibayar selama berbulan-bulan. Krisis ekonomi di Afghanistan juga diperparah dengan bencana gempa bumi yang menewaskan lebih dari 1.000 jiwa.

2. Argentina

PBB mengungkapkan, sekitar empat dari setiap 10 orang Argentina dalam keadaan ekonomi yang sulit dan bank sentralnya kehabisan cadangan devisa karena mata uang yang melemah. Kesepakatan pemerintah dengan International Monetary Fund (IMF) untuk merestrukturisasi utang Argentina sebesar 44 miliar dollar AS masih belum pasti. Inflasi Argentina diperkirakan akan melebihi 70 persen di tahun 2022. Sementara inflasi saat ini sudah mencapai 60,7 persen.

Jutaan orang Argentina bertahan hidup sebagian besar berkat dapur umum dan program kesejahteraan negara, banyak diantaranya juga disalurkan melalui gerakan sosial yang secara politik terkait dengan partai penguasa.

3. Mesir

Inflasi Mesir melonjak hampir 15 persen pada April 2022. Hal ini mengakibatkan sepertiga dari 103 juta penduduknya hidup dalam kemiskinan. Masyarakat Mesir dilanda kesulitan karena program reformasi ambisius pemerintah membuat mata uang mereka mengambang dan memangkas subsidi bahan bakar, air, hingga listrik. Ditambah lagi, kebijakan bank sentral Mesir yang menaikkan suku bunga demi menurunkan laju inflasi, namun justru semakin menyulitkan pemerintah membayar utang luar negeri yang menumpuk.

4. Laos

Tingkat utang Laos telah melonjak seperti Sri Lanka. Untuk itu, Laos sedang dalam tahap negosiasi dengan kreditur tentang cara membayar kembali pinjaman senilai miliaran dollar AS. Cadangan devisanya juga kurang dari dua bulan impor. Mata uang Laos juga terjun bebas hingga 30 persen, inflasinya mencapai 23,6 persen.

5. Lebanon

Lebanon mengalami keruntuhan mata uang. Tingkat inflasi sebesar 211,4 persen mendorong kelaparan, hingga antrean pembelian gas. Lebanon juga gagal membayar utang mereka senilai 90 miliar dollar AS atau setara Rp 1,3 kuadriliun. Rasio utangnya pun meningkat hingga mencapai 170 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bank Dunia bahkan menyebut, krisis ekonomi Lebanon menempati salah satu yang terburuk di dunia dalam lebih dari 150 tahun.

6. Myanmar

Pandemi COVID-19 dan ketidakstabilan politik menghantam ekonomi Myanmar, terutama menyusul aksi kudeta militer pada Februari 2021 terhadap pemerintahan terpilih, Aung San Suu Kyi. Menyusul kudeta, Myanmar pun dihujani sanksi dari negara Barat, seperti penarikan bisnis dan investasi secara masif. Alhasil, pertumbuhan ekonomi Myanmar terkontraksi minus 18 persen pada tahun 2021 dan diperkirakan berlanjut hingga tahun ini. Inflasi Myanmar saat ini sudah mencapai 13,8 persen.

PBB juga mencatat, lebih dari 700 ribu orang di Myanmar yang melarikan diri atau diusir dari rumah mereka karena konflik bersenjata dan kekerasan politik yang terjadi.

7. Pakistan

Seperti Sri Lanka, Pakistan telah melakukan pembicaraan dengan IMF. Pemerintah Pakistan Berharap, IMF dapat memberikan kembali paket bailout senilai 6 miliar dollar AS, yang ditunda setelah pemerintah Perdana Menteri Imran Khan lengser pada April 2022.

Melonjaknya harga minyak mentah di Pakistan telah mendorong naiknya harga bahan bakar, hingga memicu kenaikan biaya lainnya. Mata uang rupee Pakistan pun merosot 30 persen terhadap dollar AS sejak 2021 dan cadangan devisa pun turun menjadi hanya 13,5 miliar dollar AS atau setara dua bulan impor. Inflasi Pakistan saat ini sudah mencapai 21,3 persen.

8. Zimbabwe

Pada tahun 2008 silam, Zimbabwe pernah menyandang status hiperinflasi. Artinya, inflasinya mencapai 500 miliar persen. Saat ini kekhawatiran semakin menghantui karena inflasi Zimbabwe sudah menyentuh 130 persen.

Masalah ekonomi Zimbabwe berlangsung sejak sebelum pandemi dan semakin parah karena korupsi, rendahnya investasi yang masuk, dan tumpukan utang. Ditambah lagi, warga Zimbabwe tidak memercayai mata uang negara sendiri dan memilih menyimpan uang dalam bentuk dollar AS.

9. Turki

Turki menghadapi krisis setelah inflasi mencapai lebih dari 78 persen. Sejak tahun lalu, mata uang lira Turki telah jatuh ke posisi terendah sepanjang masa terhadap euro dan dollar AS. Kebijakan pemangkasan pajak dan subsidi bahan bakar untuk meredam lonjakan inflasi yang diambil Pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan nyatanya gagal mendorong Turki keluar dari krisis.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version