Menu
in ,

Perbedaan Vaksinasi Program dan Gotong Royong

Perbedaan Vaksinasi Program dan Gotong Royong

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Program vaksinasi yang mulai dilaksanakan pemerintah sejak 13 Januari lalu dan pelaksanaan vaksinasi gotong royong diyakini bisa menjadi game changer penanganan pandemi Covid-19, untuk pemulihan kesehatan dan ekonomi nasional. Agar mencapai tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di masyarakat secara optimal, pemerintah menargetkan vaksinasi Covid-19 secara nasional mencapai 70 persen populasi Indonesia atau sekitar 181 juta orang dalam waktu 15 bulan sejak Januari 2021.

Untuk mengakselarasi herd immunity, asosiasi pengusaha Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia berinisiatif mengadakan program vaksinasi mandiri atau yang kini disebut Vaksinasi Gotong Royong. Lalu, apa bedanya dengan Vaksinasi Program yang dilakukan pemerintah?

Menilik Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi, yang dikeluarkan 5 Maret lalu, Vaksinasi Gotong Royong dilaksanakan untuk karyawan, keluarga, dan individu lain terkait dalam keluarga yang pendanaannya ditanggung atau dibebankan pada badan hukum atau badan usaha.

Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani menyebut, meski pelaku usaha mesti mengeluarkan kocek untuk membeli vaksin dari PT Bio Farma (Persero), pelaksanaan Vaksinasi Gotong Royong justru akan meringankan beban pelaku usaha yang selama ini harus mengeluarkan dana lebih untuk penerapan protokol kesehatan di perusahaannya.

“Saat ini kita pun sudah menjalankan protokol kesehatan (prokes) di mana setiap dua minggu sekali kami mengadakan swab antigen kepada pekerja kami, menjalankan swab PCR, dan prokes lainnya. Oleh sebab itu, dengan menjalani Vaksinasi Gotong Royong ini, justru akan menjadi efisien bagi pelaku usaha,” terangnya saat Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta, Senin (15/3).

Rosan menjelaskan, pendataan perusahaan peserta program Vaksinasi Gotong Royong tahap I telah dilaksanakan pada 28 Januari hingga 28 Februari 2021. Tercatat sebanyak 9.176 perusahaan telah terdaftar, mulai dari UMKM sampai perusahaan skala besar, dengan jumlah peserta vaksinasi sebanyak 6.998.235 mencakup karyawan dan keluarga.

Sementara pendaftaran tahap II dibuka mulai 10 Maret sampai 24 Maret 2021. Hingga tanggal 14 Maret lalu, Rosan menyebut sebanyak 2.372 perusahaan yang mendaftar di tahap kedua ini. Sampai saat ini, total perusahaan yang sudah mendaftar sebanyak 11.542 perusahaan dengan target vaksinasi sebanyak 7.403.356 orang.

Rosan pun mengapresiasi antusiasme pelaku usaha terutama UMKM. Bahkan, ada perusahaan tambang yang mengusulkan untuk memberikan vaksin kepada masyarakat di sekitar tambang yang terdampak operasional kerja. Namun, ini urung dilakukan untuk mencegah overlapping pelaksanaan program vaksinasi pemerintah dan badan usaha.

“Jadi, semua pelaku usaha mulai dari UMKM sampai skala besar bisa ikut mendaftar selama entitasnya Indonesia, dan beberapa UMKM ternyata yang pekerjanya 5 sampai 10 orang ikut mendaftar. Ini suatu hal yang cukup positif,” imbuhnya.

Di kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir menggambarkan perbedaan pelaksanaan Vaksinasi Gotong Royong yang dilaksanakan oleh pelaku usaha, dan Vaksinasi Program atau vaksinasi kepada masyarakat yang pendanaannya ditanggung atau dibebankan kepada pemerintah.

Salah satu perbedaan utamanya yang disebutkan dalam PMK No. 10 tahun 2021 yakni pada merek vaksinnya. Honesti mengatakan bahwa pemerintah memakai vaksin dari Sinovac, AstraZeneca, Novavax, dan Moderna; sementara hingga saat ini vaksin yang akan digunakan pelaku usaha adalah Sinopharm dan Moderna.

Honesti menyebut, pihaknya telah memesan 15 juta dosis vaksin Sinopharm, dan 5,2 juta dosis vaksin Moderna untuk pelaksanaan Vaksinasi Gotong Royong ini. Perbedaan lain kedua jenis program ini, imbuh Honesti, ada pada tempat pelaksanaan vaksinasinya.

Jika Vaksinasi Program dilakukan di puskesmas, rumah sakit pemerintah, rumah sakit daerah, atau fasilitas layanan kesehatan yang ditunjuk lainnya; maka badan usaha mesti memakai fasilitas kesehatan milik sendiri atau fasilitas kesehatan yang memenuhi persyaratan.

“Kami sudah melakukan mapping dari kesiapan fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) baik yang dimiliki BUMN dan kerja sama dengan swasta. Dari total 806 fasyankes, 237 di antaranya milik swasta,” terangnya.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version