Menu
in ,

Pemerintah Luncurkan “Pooling Fund Bencana”

Pemerintah Luncurkan Pooling Fund Bencana

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Pemerintah resmi meluncurkan dana bersama penanggulangan bencana atau pooling fund bencana (PFB). Pendanaan ini dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang bersumber dari alokasi APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah), mitra pembangunan, swasta, dan masyarakat. Ketentuan itu telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75/ 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan, pooling fund bencana (PFB) sebagai milestone penting dalam manajemen risiko bencana di Indonesia karena akan meningkatkan kapasitas pendanaan risiko bencana, mulai dari mitigasi bencana hingga transfer risiko.

“PFB merupakan upaya pemerintah dalam mewujudkan komitmen untuk memperkuat ketahanan fiskal dalam menanggulangi dampak bencana alam dan non-alam secara efektif. Saat ini, PFB akan memiliki dana kelolaan awal sebesar kurang lebih Rp 7,3 triliun,” jelas Febrio dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, pada (23/8).

Peluncuran PFB dilatarbelakangi oleh analisis Bank Dunia (2018) yang menyatakan bahwa Indonesia berada di peringkat 12 dari 35 negara yang menghadapi risiko terbesar akibat bencana alam. Hampir seluruh wilayah di Indonesia terpapar risiko, lebih dari 10 jenis bencana alam, antara lain gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung api, kebakaran, cuaca ekstrim, gelombang ekstrem, kekeringan, likuifaksi, dan Indonesia. Saat ini Indonesia bahkan menghadapi bencana non-alam akibat pandemi COVID-19. Dampak dari berbagai bencana itu sangat signifikan dan multidimensi.

Di sisi lain, proses penanganan bencana di Indonesia mengalami kendala utama, yaitu keterbatasan anggaran. Berdasarkan hasil kajian Kemenkeu (2020), rata-rata nilai kerusakan bencana yang dialami Indonesia dalam 15 tahun terakhir mencapai sekitar Rp 20 triliun per tahun.

“Sebagai contoh, bencana alam besar seperti gempa, tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah pada September 2018, mengakibatkan kerusakan dan kerugian ekonomi sekitar Rp 18,5 triliun. Namun, dana cadangan bencana di dalam APBN untuk mendanai kegiatan tanggap darurat, hibah rehabilitasi, rekonstruksi kepada pemerintah daerah masih berada di bawah nilai kerusakan dan kerugian tersebut, yaitu sekitar Rp 5 triliun sampai Rp 10 triliun. Oleh karena itu, PFB hadir untuk menutup celah pendanaan atau financing gap, mempercepat proses penanganan bencana,” kata Febrio.

Dari sisi operasional, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan masyarakat bakal bersinergi dalam pengaturan PFB, mulai dari pengusulan pendanaan sampai dengan tahap penyaluran. Hal ini agar penanganan bencana lebih tepat waktu dan sasaran.

“PFB akan dikelola secara kredibel untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat Indonesia dan internasional. Dengan meningkatnya kepercayaan ini, PFB tidak hanya akan menjadi kantong kedua Menteri Keuangan dalam pendanaan bencana, melainkan menjadi sumber utama pendanaan penanggulangan bencana ke depannya. BKF akan terus mengawal guna memastikan terwujudnya hal tersebut,” tegas Febrio.

Eks dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini menambahkan, PFB tidak hanya bisa memobilisasi dana, tetapi juga melakukan investasi dan akumulasi dana untuk meningkatkan kesiapan pemerintah, baik pada tahap prabencana, darurat bencana, maupun pascabencana, termasuk transfer risiko.

“Dengan karakteristik bisnis tanpa mengutamakan keuntungan, PFB juga diharapkan dapat mempercepat pemulihan dan membangun kembali dengan lebih baik dengan fokus melindungi masyarakat paling terdampak, yaitu masyarakat miskin dan rentan. BLU pengelola PFB diantaranya dapat memberikan fasilitas pendanaan bergulir yang sangat murah untuk UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) yang terdampak bencana, selain memberikan bantuan tunai,” jelas Febrio.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version