Menu
in ,

Pembiayaan UMKM Perlu Kolaborasi Lembaga Keuangan

Pembiayaan UMKM Perlu Kolaborasi Lembaga Keuangan untuk mendapatkan pembiayaan formal

FOTO : IST

Pajak.com, Jakarta – Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Rofikoh Rokhim menyampaikan, hingga saat ini usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih menghadapi kesulitan mendapat akses permodalan dari bank. Komisaris Independen PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk itu menyebutkan, setidaknya, ada empat penyebab sulitnya UMKM mendapat akses pembiayaan formal selama ini. Pertama, adanya information opacity atau kekurangan informasi. “UMKM biasanya tidak masuk audit lembaga perbankan, minim menggunakan teknologi, dan asetnya tidak dijamin,” kata Rofikoh pada pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar di FEB Universitas Indonesia di Jakarta, Sabtu (13/3/21).

Kedua, menurut Rofikoh, adanya information asymmetry yang berujung pada terjadinya credit rationing dari bank. Rasionalisasi kredit menyebabkan banyak pelaku UMKM yang dibebankan biaya pembiayaan tinggi oleh bank, untuk mengantisipasi potensi default dari debitur. Ketiga, adanya kondisi granularity atau karakter pembiayaan UMKM yang selama ini banyak tapi tersebar kecil-kecil, dan keempat, meningkatnya monitoring cost perbankan untuk mengawasi pembiayaan granular sehingga mengurangi efisiensi lembaga keuangan.

Untuk itu, Rofikoh menilai, pembiayaan untuk UMKM serta ultra mikro tidak lagi cukup hanya mengandalkan lembaga perbankan, tetapi perlu kolaborasi berbagai lembaga keuangan. Kolaborasi itu bertujuan untuk memperluas akses pelaku UMKM dan ultra mikro mendapat pembiayaan sehat.

Rofikoh juga menekankan pentingnya penerapan nilai keberlanjutan (sustainability) bagi kesejahteraan masyarakat oleh lembaga keuangan khususnya bank. Salah satu cara mencapai nilai berkelanjutan oleh lembaga keuangan bisa melalui penyaluran pembiayaan untuk UMKM. Pemberian kredit bagi pelaku UMKM dan ultra mikro menurutnya otomatis akan berdampak pada naiknya tingkat inklusi keuangan masyarakat Indonesia.

Tingkat inklusi keuangan masyarakat di Indonesia hingga 2019 lalu baru mencapai 76,19 persen. Angka ini menurut Rofikoh masih kurang sehingga perlu ditingkatkan, salah satunya melalui jalur pembiayaan secara luas kepada pelaku UMKM dan ultra mikro.

“Angka itu menunjukkan bahwa belum semua penduduk Indonesia dapat menikmati akses jasa keuangan, dan sebagian di antaranya bisa jadi merupakan pelaku UMKM. Padahal salah satu penentu keberlangsungan suatu usaha adalah kemampuannya memperoleh akses permodalan yang terjangkau,” tutur Rofikoh.

Rofikoh juga mengimbau agar setiap lembaga keuangan tak hanya fokus pada profit semata. Menurutnya, model bisnis yang digunakan lembaga keuangan dalam mencari keuntungan harus selaras dengan prinsip berkelanjutan. Sektor keuangan yang berkelanjutan akan memberikan keuntungan jangka panjang, baik bagi bank ataupun masyarakat khususnya pendanaan UMKM. Penerapannya bukan berarti membuat profit bank tergerus. Dalam jangka pendek profitabilitas bisa menurun, tetapi dalam jangka panjang, keuntungan ini menurut Rofikoh dapat dipastikan terus berkelanjutan.

Dalam praktiknya, keuangan berkelanjutan menjadi modal bagi bank untuk memperoleh sumber dana yang lebih murah. Rofikoh mencontohkan, obligasi berkelanjutan dengan skema berwawasan lingkungan yang diterbitkan BRI senilai Rp 500 juta dollar AS mampu menarik minat investor 4,1 miliar dollar AS dengan suku bunga 3,95 persen.

“Investor tertarik karena dana dari hasil penerbitan disalurkan untuk kegiatan yang berwawasan sosial dan lingkungan. Setidaknya green bond ini telah menciptakan lapangan pekerjaan bagi 245.000 pelaku UMKM. Konsep keuangan yang berkelanjutan adalah dengan menyediakan layanan keuangan yang inklusif,” ujar Rofikoh.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version