Pajak.com, Jakarta – Seiring meredanya Covid-19 dan dibukanya sektor pariwisata, saat ini sektor ecotourism (ekoturisme) atau ekowisata sedang naik daun. Terutama bagi masyarakat masa kini suka mencari ketenangan di alam. Mereka umumnya merasa seperti menemukan energi baru, sepulang dari traveling di alam. Meski sedang begitu digemari, tidak semua penyuka wisata memahami benar tentang ekowisata dan cenderung salah kaprah memaknai definisi ekowisata.
Menurut World Wide Fund for Nature (WWF), ekowisata atau ekoturisme merupakan salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan. Para pelaku dan pakar sepakat untuk menekankan bahwa pola ekowisata sebaiknya meminimalkan dampak yang negatif terhadap lingkungan dan budaya setempat dan mampu meningkatkan pendapatan ekonomi bagi masyarakat setempat dan nilai konservasi. Setidaknya ada empat salah kaprah atau salah pengertian di masyarakat soal ekowisata.
Pertama, masyarakat menyangka bahwa wisata alam pasti ekowisata. Banyak yang berpikir, jalan-jalan ke taman, kebun raya, air terjun, hutan, apalagi taman nasional, sudah pasti berkonsep ekowisata. Ternyata, tidak selalu demikian. Menurut Project Coordinator Hutan Itu Indonesia (HII) Diyah Deviyanti, memang betul bahwa ekowisata itu berwisata ke alam terbuka. Namun, menyimpan pesan bahwa wisatawan juga ingin mendapat pengetahuan tentang alam, tentang budaya, ekonomi, juga tentang masyarakat lokalnya.
Comments