Menu
in ,

Komoditas Cokelat Indonesia Sangat Prospektif

Pajak.com, Jakarta – Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kakao terbesar di dunia. Menurut laporan International Cocoa Organization (ICCO) tahun 2018/2019, produksi biji kakao Indonesia sebesar 220 ribu ton. Capaian ini menempatkan Indonesia di peringkat keenam sebagai negara produsen biji kakao terbesar di dunia setelah Pantai Gading, Ghana, Ekuador, Nigeria dan Kamerun.  Ditinjau dari segi produktivitas, Indonesia masih berada di bawah produktivitas rata-rata negara lain penghasil kakao.

Selama ini kakao lebih banyak diekspor dalam wujud biji kering kakao dibandingkan hasil olahannya, sehingga nilai tambahnya terhadap perekonomian sedikit. Untuk itu, kementerian pertanian (Kementan) mendorong pengembangan industri cokelat nasional untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Apalagi, Indonesia adalah negara besar berbasis agraris yang memiliki sektor perkebunan cokelat berkualitas.

Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Boga Andri mengatakan, komoditas cokelat adalah komoditas industri yang saat ini terus menunjukkan perkembangan dan prospektif.

“Saya melihat dalam 3-5 tahun yang akan datang, industri cokelat kita akan makin meningkat. Apalagi cokelat sangat bagus untuk kesehatan dan tren gaya hidup. Mudah-mudahan teman petani semua bisa melihat peluang ini dan menjadikannya sebagai inspirasi untuk mendapatkan nilai tambahnya,” ujar Kuntoro dalam acara Tik Talk Ramadhan dikutip Pajak.com, Minggu (25/4/2021).

Kuntoro mengatakan, cokelat adalah komoditas strategis yang bisa membangkitkan ekonomi nasional melalui peluang ekspor dan industri olahan pangan dalam negeri.

Sejak tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Dikutip dari data kementerian Perindustrian, perkebunan ini juga memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga subsektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit dengan nilai sebesar 701 juta dollar AS.

Peneliti Agribisnis Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Diany Faila Sophia Hartatri, menyebutkan, produksi kakao Indonesia semakin menurun setiap tahunnya. Padahal, menurut Diany, permintaan dari pasar domestik maupun internasional semakin meningkat. Data Kementan menyebutkan, pada 2019, kegiatan pengembangan kakao dialokasikan seluas 7.730 hektar melalui kegiatan peremajaan dan perluasan lahan kakao. Dari luas tanah tersebut, versi produksi Ditjen Perkebunan dapat mencapai sekitar 600 ribu ton per tahun, berbeda dengan data yang dihimpun ICCO yang hanya sekitar 220 ribu ton.

Perbedaan angka tersebut menurut Diany akibat pengambilan sampel data yang berbeda. “Pendekatan datanya. International Cocoa Organization (ICCO) mungkin pakai data di Kemendag jadi jumlah datanya di ekspor atau diperdagangkan. Kalau di Kementan itu data dari rakyat atau di daerah-daerah,” jelas Diany.

Terlepas dari perbedaan data itu, kementerian perindustrian mencatat, di masa pandemi Covid-19, industri pengolahan cokelat mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap devisa. Hal ini tecermin dari nilai ekspor produk kakao olahan 549 juta dollar AS pada Januari-Juni 2020 atau meningkat sebesar 5,13 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dari produksi industri pengolahan kakao, sebanyak 80 persen hasilnya ditujukan untuk pasar ekspor. Dengan karakteristik biji kakao asal Indonesia yang memiliki titik leleh tinggi dan kaya kandungan lemak, industri pengolahan kakao dapat menghasilkan produk berkualitas tinggi dari segi rasa, aroma, bahkan manfaat kesehatan.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version