Menu
in ,

Cegah Efek Tapering, Pemerintah Dorong Sektor Eksternal

Cegah Efek Tapering, Pemerintah Dorong Sektor Eksternal

FOTO: IST

Pajak.com, Jakarta – Sejak akhir Juli lalu, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di kisaran 0-0,25 persen. Keputusan menahan suku bunga ini diambil AS karena negara itu belum pulih sepenuhnya dari COVID-19. Kebijakan itu sekaligus menjadi sinyal pemberlakuan tapering off atau pengurangan stimulus besar-besaran oleh negara Paman Sam itu. Untuk mencegah efek tapering alias dampak dari normalisasi kebijakan Bank Sentral AS itu, pemerintah Indonesia terus berupaya mempertahankan kinerja sektor eksternal.

Asisten Deputi Moneter dan Sektor Eksternal, Kemenko Perekonomian Ferry Irawan menyampaikan, upaya pemerintah mencegah efek tapering dilakukan untuk menahan pelemahan nilai tukar rupiah ketika aliran modal asing (capital outflow) meninggalkan negara emerging termasuk Indonesia dan kembali ke AS. Ferry menyebut, data resiliensi sektor eksternal menjadi modal untuk bisa memitigasi risiko atau tantangan tersebut.

“Normalisasi kebijakan The Fed didukung oleh membaiknya ekonomi AS yang berjalan cepat tercermin dari angka inflasi di negara itu. Pulihnya ekonomi AS yang menjadi mitra dagang RI turut berkontribusi pada kinerja ekspor. Di sisi lain, normalisasi kebijakan moneter The Fed menimbulkan tantangan tersendiri bagi negara-negara berkembang,” kata Ferry dalam diskusi secara virtual bersama Iluni Universitas Indonesia, Sabtu (14/8/21).

Berpijak pada pernyataan formal pemerintah AS, tapering baru akan terjadi tahun 2023. Namun, melihat dinamika pemulihan ekonomi di AS serta tingkat inflasinya, menurut Ferry ada kemungkinan tapering akan dipercepat. Ia mengatakan, tapering selalu memicu capital outflow dan pelemahan nilai tukar.

Ferry menegaskan, ketahanan eksternal seperti posisi cadangan devisa menjadi salah satu poin penting untuk menahan laju pelemahan nilai tukar dan pelemahan ekonomi lebih lanjut. Merujuk data Bank Indonesia (BI), cadangan devisa RI pada akhir Juli 2021 sebesar 137,3 miliar dollar AS. Nilai itu setara dengan 8,9 bulan impor atau 8,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Sementara, yield SBN 10 tahun pada pertengahan Juli 2021 berada pada level 6,33 persen, rupiah pada rentang Rp 14.300- Rp 14.400 per dollar AS, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di kisaran 6.100.

“Mudah-mudahan indikator eksternal ini jadi modal juga untuk bisa mencegah potensi pembalikan yang muncul dari tapering di AS,” harap Ferry.

Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengimbau agar para investor ritel dari dalam negeri untuk rajin menabung di perbankan, pasar saham, hingga pasar keuangan lainnya. Kehadiran investor ritel ini menurut Perry mampu memperkuat ketahanan negeri dari ketidakpastian global yang menjadi faktor eksternal keluarnya capital outflow dan berujung pada pelemahan nilai tukar rupiah.

Perry menegaskan, basis investor ritel diperlukan untuk memperkuat ketahanan negeri, ketahanan ekonomi, dan ketajaman pasar keuangan. Semakin banyak investor ritel maka akan membuat pasar keuangan kuat sehingga lebih tahan dengan global spill over (ketidakpastian) termasuk mengantisipasi tapering dari The Fed.

Ditulis oleh

Leave a Reply

Exit mobile version